Sunday, April 11, 2010

High-Trust Society

Arti "trust" yang saya ambil dari Cambridge Advance dictionary adalah "to have belief or confidence in the honesty, goodness, skill or safety of a person, organization or thing" yang kalo dalam istilah bahasa Indonesianya adalah "kepercayaan terhadap kejujuran seseorang, organisasi, atau sesuatu hal". Biasanya istilah ini digunakan dalam bidang ekonomi, dimana biasanya dikaitkan dengan tingkat korupsi yang terjadi pada suatu negara. Dari sebuah tulisan yang pernah saya baca (http://www.free-eco.org/articleDisplay.php?id=566), negara-negara maju dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik cenderung memiliki level kepercayaan yang lebih tinggi terhadap sesuatu, dan dikenal sebagai "high-trust society". Sedangkan untuk komunitas yang memiliki level kepercayaan yang rendah terhadap sesuatu, dikenal sebagai "low-trust society" dan biasanya komunitas ini tingkat kesejahteraannya lebih rendah.

Teori yang saya baca itu sepertinya memang ada benarnya. Berdasarkan pengalaman selama tinggal di UK, memang saya mengakui bahwa level kepercayaan masyarakat disini lebih tinggi, dan memang UK termasuk dalam negara dengan tingkat kesejahteraan yang baik.

Seminggu yang lalu, student card saya mengalami masalah. Student card itu biasa saya gunakan untuk akses masuk ke dalam gedung dan laboratorium, dan sekaligus bus pass saya juga tergabung dalam student card tersebut. Untuk alasan kepraktisan, saya biasa mengisi bus pass dalam student card itu untuk periode 3 bulan atau sekitar 93 hari. Akhir Maret lalu saya baru saja top-up bus pass untuk 3 bulan kedepan. Masalah pada student card itu juga saya rasakan juga sejak akhir Maret yang lalu. Untuk akses dalam gedung, kadang card itu bekerja dengan baik, kadang juga tidak. Untunglah saya biasa datang pada saat jam orang-orang mulai ramai berdatangan, jadi kalau kartu saya tidak bekerja, saya tinggal menunggu orang lain datang, dan saya mengikuti dibelakangnya. Jadi selamat deh bisa masuk gedung.

Saya baru menganggap problem student card saya itu serius saat saya naik tram di city centre bersama teman. Karena saya berlangganan bus dan tram, pada waktu kondektur memeriksa karcis, saya tinggal menyerahkan kartu saya ke kondektur. Kondektur lalu akan mengecek kartu saya dengan alat khusus untuk kartu langganan. Nhaaa...masalah muncul saat di cek menggunakan mesin pengecek kartu, sensor mesin itu menyala merah, yang berarti kartu saya tidak diterima. Kalo kartu saya expired, jelas tidak mungkin, karena waktu itu saya baru mengisinya 3 hari yang lalu untuk bus pass nya. Saya agak panik, karena saat itu saya tidak membawa koin untuk membayar tram. Tapi penjelasan dari Ibu Kondektur tram, bikin saya lega. Dia bilang. "Look at this...baby, the file in your card is corrupt, so it didn't work. But you don't need to pay for this tram, let check your card as soon as possible, and save for your money" sambil tetap tersenyum kepada saya. Oohhh..baiknya Ibu itu, dan dia percaya kalo kartu saya itu memang ada bus pass-nya.

Karena tidak mau bermasalah lagi dengan akses gedung dan bus pass, segera setelah libur easter berakhir, saya segera mengurus masalah kartu saya ke security office. Ternyata peyebab masalah itu adalah adanya retakan kecil pada kartu saya, sehingga data elektronik yang tersimpan dalam kartu tidak bisa terbaca. Saya juga baru tahu setelah security officer itu memperlihatkan belahan kecil pada pojok kanan atas kartu saya. Menurut analisa security officer, retakan itu terjadi karena saya meletakkan kartu itu di saku celana, sehingga kalo saya duduk, ada kemungkinan kartu itu patah akibat terlipat. He...he..he...kok dia tahu ya kalo saya sering menyimpan kartu itu disaku. Memang untuk alasan kemudahan, karena saya sering berpindah-pindah gedung, kartu itu saya masukkan ke saku samping celana. "Keep your card in wallet or purse," begitu pesan security officer setelah selesai mencetak ulang kartu saya. Okey deh.....tapi bagaimana dengan bus pass saya? Menurut penjelasan security officer, kartu itu dicetak dengan barcode yang sama dengan kartu sebelumnya sehingga semua data yang ada pada kartu lama otomatis juga akan ada di kartu baru. Oh...begitu ya....

Akses gedung lebih lancar setelah dapat kartu baru. Tapi, ketika pulang dari kampus, saat menempelkan kartu saya di mesin pembaca kartu dalam bis. Kartu saya tidak bekerja....!!! Mana saya nggak ada uang receh lagi, karena bus tersebut tidak menyediakan kembalian........panik sekali. Untungnya supir bis itu baik hati, dia bertanya, "Did you use it before?". "Yes, but I had changed the card today and have new card with me," saya berusaha menjelaskan. "Oke darling, check your card again on the bus tomorrow morning, and explain to the driver that you had a new card. And activate your card in your university card office tomorrow," katanya, "and please get in the bus". Oooohhh.....baiknya si Bapak driver. Esok paginya, saat akan berangkat kampus, saya menjelaskan kepada driver-nya tentang masalah kartu saya sehingga saya bisa naik bus tanpa membayar. Dan masalah kartu dan bus pass itu akhirnya selesai setelah saya melakukan aktivasi ulang ke kantor pusat perusahaan bus tersebut di City Centre.

Yang menarik dalam hal ini adalah betapa mereka begitu percaya terhadap seseorang. Mereka, para bus driver dan kondektur tram itu, percaya saja bahwa memang saya punya bus pass yang menempel di kartu dan kartu saya sedang dalam masalah. Padahal ada kemungkinan juga bahwa saya adalah seseorang yang tidak punya bus pass tapi hanya mengaku bahwa kartu saya sedang dalam masalah. Pada saat saya menyerahkan kartu dan kartu saya tidak bekerja, mereka juga tidak minta bukti lain seperti kuitansi pembelian bus pass atau yang lainnya. Padahal, kalo di Indonesia.......hmmm....kemungkinan saya bisa dimintai surat keterangan dari sekolah kalo kartu saya rusak, kuitansi pembelian bus pass, plus diwawancarai oleh petugas dengan wajah curiga.

Bandingkan saja kejadian diatas dengan kejadian yang saya alami di kampus tempat saya bekerja di Indonesia. Dulu, sekitar tahun 2002, institusi tempat saya bekerja belum mencetak ID-card untuk dosen maupun karyawan, sehingga memang tidak ada tanda pengenal yang jelas apakah ini dosen, karyawan, atau tamu. Untuk mahasiwa, malah sudah ada tanda pengenal yang jelas yaitu Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Saat itu, sistem parkir motornya adalah dengan menggunakan karcis parkir dimana nomor kendaraan ditulis pada karcis parkir oleh petugas parkir. Karena saya sering teledor, karcis parkir itu hilang, mungkin tidak sengaja terlipat dan terbuang, karena karcis parkir itu seperti potongan kertas kecil dari kertas buram. Pada waktu akan pulang, karena menyadari keteledoran saya, saya menyerahkan STNK motor saya kepada petugas parkir sebagai bukti bahwa saya mengambil kendaraan saya (bukan kendaraan orang lain). Saya kira ini sudah cukup sebagai bukti, tapi ternyata tidak. Petugas parkir memandang saya dengan curiga, mungkin karena saya orang baru juga di kampus itu sehingga beliau belum mengenali wajah saya. Petugas parkir itu berkata," Wah.....kok karcis parkir e iso ilang mbak....mana KTM nya, supaya bisa saya catat dibuku". Karena tidak punya KTM, saya bilang ke petugas parkir bahwa saya tidak punya KTM karena saya adalah Dosen. Eh...si Bapak malah tambah curiga. " Dosen....? Dosen mana....", walah....kok nggak dipercaya ya kalo saya dosen, padahal menurut saya, saat itu saya sudah berpenampilan "dosen banget" githu loh.....Bingung juga, wong memang saya tidak punya tanda pengenal sebagai dosen dan SK pengangkatan sebagai dosen saya tinggal di rumah (karena saya kira tidak akan berguna untuk mengurus parkir). Untungnya ada serombongan mahasiswa saya yang akan parkir karena mereka ada kegiatan di kampus sore itu. Mahasiswa saya menegur saya "baru pulang Bu?". Teguran yang menyelamatkan saya, karena petugas parkir itu jadi percaya kalo saya dosen di institusi itu akibat teguran mahasiswa terhadap saya tadi. Tapi tetap saja pak petugas parkir itu bilang lain kali karcis parkirnya jangan hilang lagi ya, atau nanti kalo hilang lagi, saya boleh pulang kalo sudah tidak ada motor lain selain motor saya di tempat parkir itu. Gubrakkk......apa bukti STNK motor belum cukup ya......

Yah....bagaimanapun, memang harus diakui, bahwa negara kita mungkin termasuk yang kurang sejahtera sehingga memiliki kepercayaan yang rendah terhadap sesuatu hal, seperti teori yang saya sebutkan diatas tadi. Lihat saja, kalo berurusan dengan birokrasi dan dokumen penting, selain dokumen harus dilegalisir, yang asli juga harus dibawa, karena ditakutkan yang hasil legalisiran itu adalah palsu. Ha...ha..ha...repot banget ya. Waktu saya menghadiri konfrensi di Malaysia, panitia dibuat geger karena saya minta cap asli pada SPPD saya, karena kalo tidak cap asli, SPPD saya tidak diterima di institusi saya. Padahal, mereka, di Malaysia jarang menggunakan cap-cap an seperti itu untuk mengecek keaslian dokumen. Ini juga contoh high-trust society dan Malaysia juga termasuk negara dengan tingkat kesejahteraan yang baik, iya 'kan...?

Jadi, bagaimana membangun high-trust society di negara kita, Indonesia? Ditingkatkan kesejahteraannya dulu, atau high-trust society yang membuat negara bisa sejahtera? Mungkin menjawab pertanyaan ini seperti menjawab "lebih dulu mana....telur atau ayam.....??"