Monday, March 14, 2011

Namaku Margaret

Judul Buku : Are You There, God? It's Me, Margaret
Penulis : Judy Blume
Jumlah halaman: 152 halaman
Penerbit : Macmillan Children's Books


Novel versi Bahasa Indonesianya pertama kali saya baca sekitar awal tahun 90-an, saat saya masih SMP. Cerita ini dimuat sebagai cerita bersambung di majalah Gadis, majalah remaja yang sangat terkenal saat itu. Menurut saya, ceritanya sangat berkesan sekali, mungkin juga dikarenakan saat itu saya juga baru memasuki masa remaja, sehingga merasa apa yang dialami Margaret ini juga terjadi pada saya.

Setelah mencari-cari, akhirnya saya menemukan buku versi aslinya (berbahasa Inggris) di Amazon. Cukup murah, hanya 2.5 pounds termasuk ongkos kirim. Ternyata ini novel karangan Judy Blume, penulis Amerika yang terkenal dengan novel-novel khusus remaja. Novel dengan judul "Are You There, God? It's Me, Margaret" ini ternyata sudah diterbitkan sejak tahun 70an. Ini berarti saat saya membaca versi majalah Gadis, novel ini sudah berusia 20 tahun, dan saat saya membaca versi Bahasa Inggrisnya, novel ini sudah berusia 40 tahun. Wowww.......

Novel berlatar cerita di daerah New Jersey ini bercerita tentang bagaimana seorang remaja sedang berkembang secara psikologis dan kebimbangannya tentang agama apa yang harus dia anut. Margaret duduk di 6th grade, dan tidak memiliki agama. Ayah Margaret adalah seorang Jewish dan Ibunya seorang Christian. Mereka tidak memaksakan Margaret untuk menganut agama tertentu sampai nanti Margaret dewasa dan menentukan sendiri keinginannya. Tapi, justru hal inilah yang membuat Margaret bingung, karena dia merasa berbeda dengan teman-temannya yang lain, tidak ke kuil Jewish atau ke Sekolah minggu untuk beribadah. Hal ini juga yang membuat Margaret membenci hari-hari libur keagamaan, karena dia merasa tidak ada sesuatu yang spesial di hari libur keagamaan.

Meskipun belum memiliki agama, Margaret percaya akan adanya Tuhan. Ini yang membuat Margaret selalu berdialog dengan Tuhan untuk segala hal yang ada dipikirannya atau yang dia inginkan. Termasuk saat ingin memiliki tubuh yang tinggi seperti Laura Danker, gadis paling cantik di kelasnya. Juga saat dia naksir dengan Moose, pemotong rumput di halaman rumahnya.

Seperti layaknya ABG, Margaret juga memiliki geng beranggotakan 4 orang yaitu dia, Nancy, Janie dan Gretchen. Geng ini juga yang membantu Margaret mengerti bagaimana tumbuh menjadi seorang remaja, karena disini mereka bertukar cerita tentang segala hal, mulai dari membeli bra, membeli pembalut, hingga dalam hal membuat daftar orang yang mereka taksir.
Karakter anggota geng ini juga berbeda-beda. Nancy digambarkan sebagai seorang yang senang memimpin, tahu segala hal dibandingkan teman-temannya, tetapi dia terkadang berbohong supaya terlihat hebat dihadapan teman-temannya. Oleh karena itu, Nancy dianggap sebagai pemimpin di geng mereka, PTS, Pre Teen Sensation.

Di Novel ini juga digambarkan bagaimana Margaret dan teman-temannya mulai tertarik pada pria disekitarnya. Mereka sepakat membuat list pria yang menarik, menurut mereka, yang harus di update setiap minggu dan dilaporkan dalam pertemuan mingguan PTS. Margaret menemukan bahwa Phillip Leroy selalu berada di urutan pertama pada daftar pria yang disukai-minggu ini, pada daftar yang dibuat oleh Nancy, Janie dan Gretchen. Margaret juga menulis nama Philip pada daftarnya. Bedanya, Margaret menulis ini karena dia tidak ingin jujur bahwa dia sebenarnya naksir Moose, anak laki-laki yang membantu memotong rumput di rumahnya, yang dianggap anak nakal oleh teman-temannya. Oleh karena itu, Margaret jadi berpikir jangan-jangan Nancy, Gretchen, dan Janie pun sebenarnya tidak naksir Phillip, tapi hanya ingin dianggap keren, karena Phillip memang pantas untuk ditaksir.

Dalam novel ini, banyak hal-hal yang bisa membuat saya tertawa geli. Judy Blume benar-benar bisa menggambarkan sosok Margaret sebagai remaja yang sedang tumbuh, yang terkadang pikirannya berbeda dari pikiran orang dewasa. Sewaktu diminta mengisi formulir perkenalan dengan guru barunya di kelas, Mr. Bennedict, Margaret menulis sesuatu diluar dugaan. Saat diminta mengisi " I think a male teacher.....", Margaret seharusnya menulis kesannya tentang guru laki-laki. Tetapi Margaret mengisi dengan jawaban yang simpel "I think a male teacher is opposite a female teacher". Benar juga sih.......

Juga digambarkan bagaimana malunya Margaret dan Janie saat pertama mencoba membeli pembalut wanita di toko, dan kasirnya adalah seorang pria. Judy Blume menggambarkan dengan detail bagaimana paniknya mereka, sehingga akhirnya Janie membatalkan niatnya membeli pembalut wanita. Padahal bagi seorang kasir pria, setiap harinya dia menghadapi ratusan pelanggan yang membeli pembalut wanita. Dengan pembalut wanita yang dibelinya ini Margaret belajar bagaimana cara memakainya, meskipun dia belum mengalami menstruasi. Dari hasilgoogling, memang pembalut wanita yang dipasarkan sekitar tahun 70an itu berbeda dengan pembalut wanita saat ini. Pembalut wanita versi lama menggunakan semacam belt/ikat pinggang, untuk menjaga pembalut tetap pada posisinya saat digunakan. Saat itu mungkin belum ada pembalut wanita yang berperekat seperti saat ini, yang lebih mudah untuk digunakan dan simpel.















Sanitary Belt, yang digunakan bersama pembalut wanita. Versi ini yang ada sekitar tahun1970an, saat Judy Blume menulis novel "Are you there, God? It's me Margaret"


Margaret sebenarnya merupakan sosok yang religius, hanya dia belum bisa menentukan pilihan yang terbaik baginya. Digambarkan dalam novel ini bahwa Margaret setiap hari berdialog dengan Tuhan, tentang segala keinginannya. Margaret juga yakin, bahwa jika dia meminta pada Tuhan, pasti akan dikabulkan. Saat ayahnya terluka akibat mesin pemotong rumput, Margaret berdoa agar keadaan ayahnya tidak bertambah memburuk. Termasuk saat dia meminta agar segera mendapatkan menstruasi, supaya tidak kalah dengan teman-teman satu geng-nya. Margaret semakin yakin bahwa Tuhan selalu mengabulkan permintaannya, setelah pada akhirnya dia mendapatkan menstruasi pertamanya setelah ulang tahunnya yang keduabelas. Margaret merasa senang karena dia tidak tertinggal dibandingkan Gretchen dan Nancy, yang sudah lebih dulu mendapatkan menstruasi pertamanya.

Novel ini memang sangat menghibur dan bagus juga dibaca oleh para remaja dan dewasa. Sampai saat ini, saya sangat terkesan sekali dengan cerita Margaret ini. Menurut saya, novel ini sangat menggambarkan bagaimana perasaan dan perkembangan seorang anak remaja, baik dari segi psikis dan psikologis. Selain itu, novel ini juga menggambarkan bagaimana kebimbangan seorang anak remaja yang tidak memiliki pegangan agama tertentu. Masukan yang bagus untuk para orangtua, supaya mendidik anak-anaknya dengan pondasi agama yang kuat sehingga anak-anak tidak menjadi bimbang dan ragu terhadap keberadaan Sang Pencipta.

*There a lots of things about growing up that are hard to be honest about, even with your best friends*

Wednesday, March 09, 2011

Homesick

Hari minggu kemarin, tombol switch on- switch off terminal kabel milik saya tiba-tiba tidak bisa menyala dan tidak bisa bekerja. Wah, jadi agak repot memang karena terminal kabel itu menghubungkan socket/ plug atau colokan 2 ke 2. Sengaja memang saya membawa terminal socket/colokan 2 ke 2 untuk peralatan listrik mengingat peralatan elektronik yang saya bawa dari Indonesia seperti komputer, charger kamera dan HP masih menggunakan plug/colokan dengan 2 lubang, sedangkan di UK socketnya adalah 3 lubang. Sebenarnya begitu sampai UK, saya juga sudah membeli socket yang merubah 2 plug menjadi 3 plug, tapi hanya terbatas untuk 1 item barang elektronik. Sehingga saya menyambugnya lagi dengan socket 2 ke 2 yang saya bawa dari Indonesia, sehingga saya bisa menyalakan komputer, mengisi baterai HP dan kamera sekaligus.

Hubungannya dengan Homesick? Hmmm, gara-gara memperbaiki socket itu, tiba-tiba saya jadi ingat rumah alias Homesick.



Homesick atau perasaan kangen atau rindu, menurut Cambridge advanced learner's dictionary adalah suatu keadaan dimana kita merasa tidak nyaman karena berada jauh dari rumah dalam jangka waktu yang lama. Definisi lainnya adalah perasaan tidak nyaman atau lemah yang disebabkan oleh terpisahnya seseorang dari sesuatu object, dalam hal ini rumah, baik yang disengaja ataupun tidak disengaja. Gara-gara homesick, mendorong saya untuk bertanya kepada mbah Google, apa sebenarnya homesick itu dan apa saja yang membuat sesorang merasa homesick.

Ternyata banyak faktor yang mempengaruhi apakah seseorang itu akan mudah terjangkiti homesickness atau tidak. Faktor-faktor tersebut antara lain usia, jenis kelamin (gender), budaya, dan ketegaran atau rigidity seseorang.

1. Faktor Usia
Katanya, anak-anak akan lebih mudah terjangkiti penyakit homesick dibandingkan orang dewasa. Sepertinya ini ada benarnya, karena anak-anak biasanya lebih besar ketergantungannya terhadap suatu object, dalam hal ini rumah atau orang tua (ayah dan ibu) sehingga akan lebih mudah terjangkiti homesickness.

Jadi ingat kejadian beberapa tahun yang lalu, saat serombongan mahasiswa saya datang menghadap, meminta saya agar membatalkan kuliah sore hari, yang dimulai pukul 4 sore. Biasanya, kelas yang dimulai pukul 4 sore ini akan berakhir sekitar pukul 6 sore. Mereka meminta supaya saya mengganti kuliah ini dilain hari. Ketika saya tanya alasannya, ternyata mereka tidak ingin pulang terlalu sore karena ingin mudik ke kampung halamannya sore ini, karena besok adalah 1 Ramadhan, hari pertama puasa. Mereka ingin membuka puasa pertama di kampung halamannya. Mahasiswa saya kebanyakan berasal dari wilayah Solo dan sekitarnya sehingga untuk mudik diperlukan waktu tidak lebih dari 5 jam. Wah, kalo untuk mengganti jam kuliah dilain hari, terus terang saya agak keberatan, karena jadwal saya kedepannya juga sudah penuh. Mungkin jika di cancel, maka saya akan lebih senang. Tapi tentu mahasiswa, dekan dan universitas tempat saya mengajar menjadi tidak senang. Oleh karena itu, saya berkata kepada para mahasiswa, bahwa saya berjanji akan mengakhiri kuliah jam 5.30. "Terimakasih, Bu", ucap mereka lega. "Selamat mudik ya, saya saja malah nggak mudik nih", saya berkata kepada mereka. "Ah, Ibu 'kan nggak perlu mudik. Ibu 'kan sudah besar," ucap salah seorang mahasiswa saya. Ha..ha..ha....saya jadi terpingkal-pingkal mendengar jawaban salah seorang mahasiswa tadi. Mungkin maksudnya, saya tidak perlu mudik karena saya sudah cukup dewasa atau tua, bukan seperti mereka yang umurnya jauh dibawah saya. Jadi, memang terbukti 'kan jika bertambahnya usia mengurangi perasaan homesick ini. Meskipun sebenarnya saya juga pengin pulang, pengin sahur dengan menu "lombok kethok" masakan Ibu saya he..he...

2. Faktor Gender
Dari sebuah penelitian tentang homesick yang saya baca, untuk wilayah UK, wanita merasa lebih mudah merasa homesick dibandingkan pria. Penelitian ini membandingkan homesickness dari segi gender di UK dan di Netherlands dikalangan para pelajar. Di Netherlands, tidak ada pengaruh perbedaan gender ini terhadap perasaan homesickness. Konon katanya, dari jurnal yang saya baca ini, di Netherlands jarak antar kota relatif dekat, dan tersedia fasilitas transport gratis untuk pelajar, sehingga mereka biasanya akan pulang ke rumah tiap weekend (http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1348/000712602162508/pdf).

Menurut saya, mungkin juga karena wanita lebih bisa mengungkapkan emosinya dibandingkan pria, sehingga jika merasa homesick, akan terlihat sekali. Seperti yang saya alami saat saya menghadapi socket yang rusak tadi. Sambil membongkar dan memperbaiki socket tersebut, saya jadi ingat Bapak saya. Coba jika ada beliau saat ini, saya tidak perlu memutar obeng dan membongkar socket itu sendiri. Bapak saya memang punya hobi mengutak-atik dan memperbaiki segalanya, mulai dari alat listrik sampai mainan milik keponakan saya dan pasti juga beliau dengan senang hati memperbaiki tombol socket yang rusak ini. Gara-gara ingat Bapak, saya jadi ingat Ibu, kangen dengan nasihat-nasihatnya yang relijius, yang membuat saya selalu ingat bahwa manusia itu tidak ada artinya dibandingkan Sang Pencipta. Kangen dengan Bapak-Ibu, membuat saya juga kangen dengan keponakan, si Tolo-Tolo, yang tidak pernah bisa diam, dan tiap kali saya menelepon ke Indonesia, dia selalu minta robot bertopeng dan bersayap. Dan saya sampai saat ini belum menemukan gambaran bagaimana bentuknya robot bertopeng dan bersayap itu. Gara-gara itu semua, saya jadi kangen rumah.......Hanya gara-gara memperbaiki tombol switch on-off pada terminal socket....hwa.......

3. Faktor Budaya
Faktor budaya ternyata juga mempengaruhi perasaan homesickness ini. Seorang pelajar Indonesia yang baru pertama kali sekolah di Inggris, tentu akan merasa lebih homesickness dibandingkan dengan pelajar Indonesia yang sudah lama sekolah di Inggris. Perasaan ini juga dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain kesulitan dalam menghadapi hal baru, merasa tidak nyaman dengan lingkungan yang baru dan belum bisa memanfaatkan situasi yang dihadapinya saat ini.

Perbedaan budaya memang sering membuat perasaan homesick muncul. Jadi ingat sewaktu baru pindah ke UK, saya sering membayangkan pulang kuliah terus mampir membeli bakso atau gorengan dipinggir jalan. Jalan-jalan bersama sepulang kuliah dan banyak hal lain. Di UK, hari kerja adalah digunakan untuk kerja, sehingga pertokoan pun tutup tidak lebih dari jam 5.30 dihari kerja, kecuali supermarket besar. Kongkow-kongkow hanya dilakukan saat weekend, Jum'at malam dan Sabtu. Alhasil, tidak ada acara kongkow dan mampir beli bakso atau gorengan dihari kerja. Hari kerja, setelah jam 5 sore, acaranya adalah pulang ke rumah, tanpa ada acara kongkow. Ini juga yang membuat saya kangen Indonesia.............

Perasaan kehilangan terhadap teman, ingin mencari teman baru ditempat yang baru, merindukan tipe teman lama di tempat yang baru, serta merasa kehilangan teman curhat dan bisa dipercaya juga semakin memperparah keadaan homesickness ini, terutama dikalangan pelajar. Selain itu, kadang ada perasaan bahwa situasi sebelumnya lebih baik dari sekarang dan juga ada perasaan menyesal karena meninggalkan situasi yang lama, dimana kita sudah merasa nyaman. Ini juga memicu perasaan homesickness. Memang, zona nyaman itu terkadang terlalu nyaman untuk ditinggalkan.

4. Faktor Rigidity atau Ketegaran
Seberapa kuat ikatan seseorang terhadap suatu object, maka akan mempengaruhi tingkat homesickness-nya. Seseorang yang tidak pernah hidup terpisah dari orangtuanya, mungkin akan merasakan homesickness yang lebih parah dibandingkan dengan seseorang yang sudah terbiasa hidup terpisah dari orangtuanya.

Saya sendiri sebenarnya sudah terbiasa tinggal terpisah dari orangtua sejak SMA. Orangtua saya adalah PNS yang sering dipindahtugaskan kebeberapa daerah. Khawatir dengan pendidikan anaknya yang sudah menginjak SMA, yang kemungkinan akan kacau jika mengikuti ortu yang pindah tugas, orangtua saya memutuskan untuk memusatkan pendidikan anak-anaknya di Jogja. Kebetulan di Jogja juga banyak saudara yang bisa membantu mengawasi. Alhasil, saya dan kakak sudah belajar untuk hidup mandiri sejak SMA. Dengan track-record tinggal terpisah dari orangtua yang sudah cukup lama, tapi kenapa saya masih sering kena homesick juga? Tidak terbayangkan bagaimana dengan seseorang yang tidak pernah tinggal terpisah dari orangtuanya.

Tingkat ketegaran atau rigidity ini juga mempengaruhi kecepatan munculnya perasaan homesick. Bagi saya, biasanya saya akan mulai merasa homesick jika lebih dari 3 bulan tidak bertemu orangtua dan tidak mengunjungi rumah. Selain itu, jika sedang dibawah tekanan, misal harus menyusun report atau bertemu pekerjaan yang bertumpuk, tiba-tiba saya merasa ingin pulang ke rumah. Tapi kalo yang terakhir ini, sebenarnya homesick atau lari dari tanggung jawab ya???

Bagaimana denganmu? Apa yang kamu pikirkan tentang homesick?
Anyway, saya akhirnya bisa memperbaiki terminal socket yang saya bawa dari Indonesia, dengan perasaan homesickness.


*I am homesick for everything that I am willing to remember*


Bibliography: