Hari minggu kemarin, tombol switch on- switch off terminal kabel milik saya tiba-tiba tidak bisa menyala dan tidak bisa bekerja. Wah, jadi agak repot memang karena terminal kabel itu menghubungkan socket/ plug atau colokan 2 ke 2. Sengaja memang saya membawa terminal socket/colokan 2 ke 2 untuk peralatan listrik mengingat peralatan elektronik yang saya bawa dari Indonesia seperti komputer, charger kamera dan HP masih menggunakan plug/colokan dengan 2 lubang, sedangkan di UK socketnya adalah 3 lubang. Sebenarnya begitu sampai UK, saya juga sudah membeli socket yang merubah 2 plug menjadi 3 plug, tapi hanya terbatas untuk 1 item barang elektronik. Sehingga saya menyambugnya lagi dengan socket 2 ke 2 yang saya bawa dari Indonesia, sehingga saya bisa menyalakan komputer, mengisi baterai HP dan kamera sekaligus.
Hubungannya dengan Homesick? Hmmm, gara-gara memperbaiki socket itu, tiba-tiba saya jadi ingat rumah alias Homesick.
Homesick atau perasaan kangen atau rindu, menurut Cambridge advanced learner's dictionary adalah suatu keadaan dimana kita merasa tidak nyaman karena berada jauh dari rumah dalam jangka waktu yang lama. Definisi lainnya adalah perasaan tidak nyaman atau lemah yang disebabkan oleh terpisahnya seseorang dari sesuatu object, dalam hal ini rumah, baik yang disengaja ataupun tidak disengaja. Gara-gara homesick, mendorong saya untuk bertanya kepada mbah Google, apa sebenarnya homesick itu dan apa saja yang membuat sesorang merasa homesick.
Ternyata banyak faktor yang mempengaruhi apakah seseorang itu akan mudah terjangkiti homesickness atau tidak. Faktor-faktor tersebut antara lain usia, jenis kelamin (gender), budaya, dan ketegaran atau rigidity seseorang.
1. Faktor Usia
Katanya, anak-anak akan lebih mudah terjangkiti penyakit homesick dibandingkan orang dewasa. Sepertinya ini ada benarnya, karena anak-anak biasanya lebih besar ketergantungannya terhadap suatu object, dalam hal ini rumah atau orang tua (ayah dan ibu) sehingga akan lebih mudah terjangkiti homesickness.
Jadi ingat kejadian beberapa tahun yang lalu, saat serombongan mahasiswa saya datang menghadap, meminta saya agar membatalkan kuliah sore hari, yang dimulai pukul 4 sore. Biasanya, kelas yang dimulai pukul 4 sore ini akan berakhir sekitar pukul 6 sore. Mereka meminta supaya saya mengganti kuliah ini dilain hari. Ketika saya tanya alasannya, ternyata mereka tidak ingin pulang terlalu sore karena ingin mudik ke kampung halamannya sore ini, karena besok adalah 1 Ramadhan, hari pertama puasa. Mereka ingin membuka puasa pertama di kampung halamannya. Mahasiswa saya kebanyakan berasal dari wilayah Solo dan sekitarnya sehingga untuk mudik diperlukan waktu tidak lebih dari 5 jam. Wah, kalo untuk mengganti jam kuliah dilain hari, terus terang saya agak keberatan, karena jadwal saya kedepannya juga sudah penuh. Mungkin jika di cancel, maka saya akan lebih senang. Tapi tentu mahasiswa, dekan dan universitas tempat saya mengajar menjadi tidak senang. Oleh karena itu, saya berkata kepada para mahasiswa, bahwa saya berjanji akan mengakhiri kuliah jam 5.30. "Terimakasih, Bu", ucap mereka lega. "Selamat mudik ya, saya saja malah nggak mudik nih", saya berkata kepada mereka. "Ah, Ibu 'kan nggak perlu mudik. Ibu 'kan sudah besar," ucap salah seorang mahasiswa saya. Ha..ha..ha....saya jadi terpingkal-pingkal mendengar jawaban salah seorang mahasiswa tadi. Mungkin maksudnya, saya tidak perlu mudik karena saya sudah cukup dewasa atau tua, bukan seperti mereka yang umurnya jauh dibawah saya. Jadi, memang terbukti 'kan jika bertambahnya usia mengurangi perasaan homesick ini. Meskipun sebenarnya saya juga pengin pulang, pengin sahur dengan menu "lombok kethok" masakan Ibu saya he..he...
2. Faktor Gender
Dari sebuah penelitian tentang homesick yang saya baca, untuk wilayah UK, wanita merasa lebih mudah merasa homesick dibandingkan pria. Penelitian ini membandingkan homesickness dari segi gender di UK dan di Netherlands dikalangan para pelajar. Di Netherlands, tidak ada pengaruh perbedaan gender ini terhadap perasaan homesickness. Konon katanya, dari jurnal yang saya baca ini, di Netherlands jarak antar kota relatif dekat, dan tersedia fasilitas transport gratis untuk pelajar, sehingga mereka biasanya akan pulang ke rumah tiap weekend (http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1348/000712602162508/pdf).
Menurut saya, mungkin juga karena wanita lebih bisa mengungkapkan emosinya dibandingkan pria, sehingga jika merasa homesick, akan terlihat sekali. Seperti yang saya alami saat saya menghadapi socket yang rusak tadi. Sambil membongkar dan memperbaiki socket tersebut, saya jadi ingat Bapak saya. Coba jika ada beliau saat ini, saya tidak perlu memutar obeng dan membongkar socket itu sendiri. Bapak saya memang punya hobi mengutak-atik dan memperbaiki segalanya, mulai dari alat listrik sampai mainan milik keponakan saya dan pasti juga beliau dengan senang hati memperbaiki tombol socket yang rusak ini. Gara-gara ingat Bapak, saya jadi ingat Ibu, kangen dengan nasihat-nasihatnya yang relijius, yang membuat saya selalu ingat bahwa manusia itu tidak ada artinya dibandingkan Sang Pencipta. Kangen dengan Bapak-Ibu, membuat saya juga kangen dengan keponakan, si Tolo-Tolo, yang tidak pernah bisa diam, dan tiap kali saya menelepon ke Indonesia, dia selalu minta robot bertopeng dan bersayap. Dan saya sampai saat ini belum menemukan gambaran bagaimana bentuknya robot bertopeng dan bersayap itu. Gara-gara itu semua, saya jadi kangen rumah.......Hanya gara-gara memperbaiki tombol switch on-off pada terminal socket....hwa.......
3. Faktor Budaya
Faktor budaya ternyata juga mempengaruhi perasaan homesickness ini. Seorang pelajar Indonesia yang baru pertama kali sekolah di Inggris, tentu akan merasa lebih homesickness dibandingkan dengan pelajar Indonesia yang sudah lama sekolah di Inggris. Perasaan ini juga dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain kesulitan dalam menghadapi hal baru, merasa tidak nyaman dengan lingkungan yang baru dan belum bisa memanfaatkan situasi yang dihadapinya saat ini.
Perbedaan budaya memang sering membuat perasaan homesick muncul. Jadi ingat sewaktu baru pindah ke UK, saya sering membayangkan pulang kuliah terus mampir membeli bakso atau gorengan dipinggir jalan. Jalan-jalan bersama sepulang kuliah dan banyak hal lain. Di UK, hari kerja adalah digunakan untuk kerja, sehingga pertokoan pun tutup tidak lebih dari jam 5.30 dihari kerja, kecuali supermarket besar. Kongkow-kongkow hanya dilakukan saat weekend, Jum'at malam dan Sabtu. Alhasil, tidak ada acara kongkow dan mampir beli bakso atau gorengan dihari kerja. Hari kerja, setelah jam 5 sore, acaranya adalah pulang ke rumah, tanpa ada acara kongkow. Ini juga yang membuat saya kangen Indonesia.............
Perasaan kehilangan terhadap teman, ingin mencari teman baru ditempat yang baru, merindukan tipe teman lama di tempat yang baru, serta merasa kehilangan teman curhat dan bisa dipercaya juga semakin memperparah keadaan homesickness ini, terutama dikalangan pelajar. Selain itu, kadang ada perasaan bahwa situasi sebelumnya lebih baik dari sekarang dan juga ada perasaan menyesal karena meninggalkan situasi yang lama, dimana kita sudah merasa nyaman. Ini juga memicu perasaan homesickness. Memang, zona nyaman itu terkadang terlalu nyaman untuk ditinggalkan.
4. Faktor Rigidity atau Ketegaran
Seberapa kuat ikatan seseorang terhadap suatu object, maka akan mempengaruhi tingkat homesickness-nya. Seseorang yang tidak pernah hidup terpisah dari orangtuanya, mungkin akan merasakan homesickness yang lebih parah dibandingkan dengan seseorang yang sudah terbiasa hidup terpisah dari orangtuanya.
Saya sendiri sebenarnya sudah terbiasa tinggal terpisah dari orangtua sejak SMA. Orangtua saya adalah PNS yang sering dipindahtugaskan kebeberapa daerah. Khawatir dengan pendidikan anaknya yang sudah menginjak SMA, yang kemungkinan akan kacau jika mengikuti ortu yang pindah tugas, orangtua saya memutuskan untuk memusatkan pendidikan anak-anaknya di Jogja. Kebetulan di Jogja juga banyak saudara yang bisa membantu mengawasi. Alhasil, saya dan kakak sudah belajar untuk hidup mandiri sejak SMA. Dengan track-record tinggal terpisah dari orangtua yang sudah cukup lama, tapi kenapa saya masih sering kena homesick juga? Tidak terbayangkan bagaimana dengan seseorang yang tidak pernah tinggal terpisah dari orangtuanya.
Tingkat ketegaran atau rigidity ini juga mempengaruhi kecepatan munculnya perasaan homesick. Bagi saya, biasanya saya akan mulai merasa homesick jika lebih dari 3 bulan tidak bertemu orangtua dan tidak mengunjungi rumah. Selain itu, jika sedang dibawah tekanan, misal harus menyusun report atau bertemu pekerjaan yang bertumpuk, tiba-tiba saya merasa ingin pulang ke rumah. Tapi kalo yang terakhir ini, sebenarnya homesick atau lari dari tanggung jawab ya???
Bagaimana denganmu? Apa yang kamu pikirkan tentang homesick?
Anyway, saya akhirnya bisa memperbaiki terminal socket yang saya bawa dari Indonesia, dengan perasaan homesickness.
*I am homesick for everything that I am willing to remember*
Bibliography:
No comments:
Post a Comment