Sunday, December 15, 2013

Kilas Jalan Menuju PhD

Woww...time flies fast, tanpa terasa sudah 1.5 tahun blog ini sudah tidak pernah di-up-dating. Padahal, dulu saya bertekad minimal 1 bulan sekali mampu membuat catatan-catatan kecil, tentang semua hal, baik yang bermutu dan tidak bermutu. Tapi apa daya, tangan tak sampai untuk membuat tulisan kecil, yang tidak mutu sekalipun.

Catatan terakhir ternyata saya buat ketika hari ulang tahun saya di tahun 2102. Setelah itu, sepertinya menulis thesis lebih menjadi prioritas. Sering merasa bersalah jika menulis sesuatu yang tidak bermutu, sedangkan tulisan thesis masih "kleleran". Dulu...dulu...nih, saat genting-gentingnya menulis thesis, saya sempat berjanji akan kembali lagi ke blog ini kalo sudah submit. Nyatanya, akhir Januari 2013 thesis disubmit, tapi blog tidak di up-date juga. Jadi, saya berbohong kepada diri sendiri :P.

Saat ini, saya merasa sudah bisa deal dengan kerjaan baru yang sebenarnya tidak baru ini, setelah hampir 3.5 tahun cuti untuk jadi student di UK. Jadi, sejak Mei 2013 resmi berstatus bukan student, baru malam ini saya merasa legaaa banget, dan bisa up-date blog ini.

Kali ini, pengin sekali cerita kilas balik stage waktu jadi PhD student. Mumpung lagi in the mood untuk menulis tentang pengalaman jadi PhD student dan juga ingin berbagi cerita bahwa sekolah di luar negeri itu tidak selamanya enak, tapi juga tidak selamanya tidak-enak. Bisa dikatakan naik-turunlah, kadang senang, galau, sedih dan kangeennn rumah. Apa saja sih yag dialami oleh PhD student? Dimana senangnya, dimana susahnya, dimana galau-nya? 

1. Tahun Pertama

Tahun pertama sebagai student, bisa saya bagi menjadi 3 bagian. Tiga bulan pertama, sebagai seorang yang baru pertama kali merasakan sekolah di luar Indonesia, jelaslah senang. Bangga juga ding...karena bisa menyabet slot beasiswa yang belum tentu semua orang bisa mendapatkannya. Sebagai orang "ndeso" tentulah saya kagum sekali dengan semua keteraturan dan fasilitas yang baik di UK, yang tentunya jauuhhh sekali jika dibandingkan dengan di Indonesia. Dunia kampus pun menjanjikan fasilitas belajar yang baik, akses perpustakaan 24 jam, short-courses yang menarik dan lainnya.

Puluhan foto pun ter-upload lewat media facebook, menggambarkan rasa exciting terhadap dunia baru ini. Indah....dan yang jelas berbeda dari negara sendiri. Selain itu, hobi jalan-jalan saya juga terfasilitasi dengan bergabung dalam Postgraduate Students Association (PGSA) yang secara rutin menawarkan trip keliling UK, minimal 1 bulan sekali. Untuk urusan belanja, ukuran pakaian big-size selalu tersedia untuk saya, apapun modelnya, dan ini sulit saya dapatkan di Indonesia. 

Diatas adalah bagian yang menyenangkan. Adakah bagian yang tidak menyenangkan? Mencoba memahami riset/ project yang diberikan bukan hal yang mudah bagi saya. Apalagi itu menyangkut hal yang saya hindari di masa lalu, yaitu chemical synthesis. Rasa galau juga mulai menjangkiti, karena iklim bekerja yang berbeda dengan sebelumnya. Budaya jelas berbeda, yang pada beberapa titik belum saya terima sepenuhnya. Sehingga kadang ada perasaan merasa sendiri. Apalagi saat itu sudah mulai mendekati musim dingin, yang gloomy, dan sering membawa mood menuju kemurungan dan sedih.

Tiga bulan kedua, foto dan update status di facebook tentang indahnya negara baru ini mulai berkurang. Berkurang karena memang tidak ada waktu. Pekerjaan di lab mulai mengalir, membuat report (yang harus dikerjakan setiap menyelesaikan satu reaksi), membuat literature review, dan harus memahami mekanisme reaksi yang dulunya sangat asing bagi saya. Benar-benar menempatkan saya under pressure saat itu. Sehingga, hari Jum'at merupakan hari yang paling saya tunggu saat itu, karena keesokan harinya weekend dan saya bisa istirahat dan membuka facebook dan update status juga foto :D. Sabtu menjadi hari belanja dan santai bagi saya, dan Minggu saya memilih untuk tidak keluar rumah jika tidak terpaksa, untuk menyiapkan fisik dan mental di hari Senin...cieeee......

Untungnya, 3 bulan kedua ini meskipun saya bekerja di chemistry yang pressure nya cukup tinggi, ada hal yang membuat saya kuat menghadapi tekanan ini. Lab-mates yang menyenangkan, yang selalu siap membantu, termasuk menerjemahkan interpretasi spectrum H-NMR yang bagi saya terlihat serupa jarum yang ruwet :D. Meskipun kami semua berada dibawah tekanan reaksi kimia, tapi saat lunch menjadi saat yang menyenangkan untuk tertawa bersama. Topik yang ditertawakan? Banyak hal, mulai dari menghitung berapa kali supervisor mencuci tangan di lab dalam sehari sebagai alasan untuk mengawasi student-nya hingga menertawakan riset kami yang kadang sulit sekali untuk dibayangkan kapan selesainya. Ternyata bukan hanya saya yang merasakan ruwetnya riset, yang lain juga merasakan hal yang sama. Jadi tertawa bersamalah kita, menertawakan diri kita masing-masing kenapa mau menjadi PhD Student. Satu lagi kebaikan mereka, meskipun teman dan post doc di chemistry lab ini laki-laki semua, tapi mereka tidak pernah melupakan untuk mengajak saya keluar sekedar makan bersama jika ada yang ultah atau Sunday lunch

Oh iya, 3 bulan kedua ini saya juga mulai mengenal PhD comics (http://www.phdcomics.com/comics), yang banyak sesuainya dengan kehidupan sebagai student, yang kadang pahit tapi lucu untuk ditertawakan.

Tiga bulan ketiga, lab work saya berpindah ke Drug Delivery lab. Di tempat ini, teman baru juga saya dapatkan, mulai dari kakak kelas yang suka curhat hingga kakak kelas yang suka tebar pesona:P. Secara kehidupan akademik, saya sudah mulai nyaman dengan riset yang saya kerjakan, tidak merasa dibawah tekanan lagi. Mungkin karena saya sudah semakin paham apa yang harus dikerjakan. Menulis report-pun semakin lancar untuk dibuat, karena saya sudah tahu bentuk report seperti apa yang diinginkan oleh ketiga supervisor saya. Kehidupan non-akademik juga semakin nyaman, karena semakin banyak teman hang-out dan teman tempat bercerita. Saya juga banyak bertemu dengan teman-teman baru dari beragam negara, yang sama sponsor beasiswanya,  dan kami sepakat untuk mendirikan asosiasi dengan pertemuan terjadwal setiap dua bulan sekali.

Tapi, tetap ada satu hal yang membuat saya cemas yaitu first-year report. Setelah 9 bulan, saya harus men-submit report ke school dan nantinya akan direview oleh internal assessor. Selain itu, saya juga harus melewati first-year viva, yang akan menentukan apakah saya layak untuk menjadi candidate PhD dan berhak melanjutkan riset tahun kedua. Alhamdulillah, dukungan supervisor saat itu sangat membantu. Mereka mengingatkan saya bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan sepanjang saya tahu apa yang sudah dan yang akan saya kerjakan. Mereka juga memilihkan untuk saya internal assessor yang baik, tetapi capable secara akademik untuk mereview hasil kerja saya selama 9 bulan.

Diakhir bulan ke 10 sejak menjadi student, saya dinyatakan berhak menjadi PhD candidate dan melanjutkan riset tahun kedua. Well, meskipun untuk mencapai itu juga tidak mudah. Satu jam diskusi terhabiskan antara saya dengan internal assessor, untuk mendiskusikan mekanisme sintesis yang saya kerjakan, termasuk analisisnya. Sssttt...selesai ujian tersebut, saya baru menyadari bahwa internal assessor saya sebenarnya baik, dan ini tidak pernah saya terbayangkan sebelumnya. Saya bahkan pernah meminta ganti internal assessor kepada supervisor hanya karena masalah sepele, yaitu internal assesor saya tidak pernah tersenyum atau menyapa jika berpapasan dengan orang lain. Hal yang sangat jarang terjadi di British, dimana setiap orang yang berpapasan selalu saling menyapa, say Hi..., Hiya...atau apalah, yang penting menyapa. Tapi, supervisor saya meyakinkan bahwa memang tidak ada akademisi yang sempurna, yang bisa menjadi reviewer riset saya. Jadi, untuk saat ini, dialah yang terbaik. Selesai ujian, baru saya menyadari bahwa memang internal assessor saya baik, cerdas dan memberikan masukan yang cukup banyak. Dan juga, saya baru menyadari bahwa dia ternyata bisa tersenyum ramah, dan cakep ...^-^.

2. Tahun Kedua

Akhir tahun pertama saya habiskan untuk pulang liburan ke Indonesia. Kebetulan saat itu bertepatan dengan puasa dan lebaran. Ijin dengan supervisor pun mudah didapat, karena dia juga mau liburan :D.


Awal Oktober 2010 saya kembali ke UK. Saat kembali ini, ada perasaan berat untuk meninggalkan Indonesia, karena saya masih ingin liburan...!!! Tapi disatu sisi saya juga merasa cemas, karena liburan yang terlalu lama akan menyita waktu untuk melakukan penelitian. Terus terang, ketika pulang dari liburan ini, saya bingung harus memulai dari mana untuk riset tahun kedua ini. Alhasil, 1 minggu pertama terbuang percuma hanya karena galau mau dibawa kemana riset ini. Untunglah, memang iklim akademik itu sudah dirancang sedemikian rupa sehingga bisa dijalani dengan mudah. Jika ada student galau tentang riset, supervisor siap membimbing supaya riset tetap terarah pada tujuan :D.


Riset tahun kedua semakin mudah untuk dibayangkan tetapi susah untuk dijalani. Semakin mudah, karena saya sudah tahu apa saja yang harus saya kerjakan untuk mencapai tujuan penelitian. Susah untuk dijalani, karena kadang hasil percobaan tidak sesuai yang diharapkan, sehingga perlu adjusment kondisi disana sini, supaya didapatkan hasil seperti yang diharapkan. 

Ditahun kedua ini, rasanya sudah semakin jarang galau, karena memang tidak ada waktu untuk menjadi galau...!!! Sebagai second-year student, tanggung jawab di lab pun semakin besar. Mulai dari harus men-training cara kerja penelitian ke 1st-year students hingga membimbing tugas akhir mahasiswa undergraduate. Belum lagi harus mengerjakan lab-work milik sendiri. Waktu pun semakin cepat berlari karena dikejar. Belum lagi e-mail bertubi-tubi dari supervisor, untuk memberikan instruksi membimbing project kepada students, termasuk e-mail di saat weekend (hal yang sangat jarang dilakukan oleh supervisor, jika tidak terpaksa). Giliran untuk memberi presentasi di group pun juga tiba. Prioritas memang diberikan kepada 2nd-year student untuk menampilkan progress riset yang dilakukan. Malangnya, karena supervisor saya berasal dari bagian yang berbeda di school of pharmacy, jadi saya harus mempresentasikan riset di bagian drug delivery & tissue engineering dan bagian medicinal chemistry.

Langkah saya akhirnya menginjak sembilan bulan tahun kedua. Rasa cemas mulai menghampiri karena saya merasa belum menghasilkan sesuatu yang bermakna dalam riset ini. Kekhawatiran juga menghinggapi apakah nanti masih berhak melanjutkan tahun ketiga? Untungnya, tampil presentasi bertubi-tubi di group yang berbeda berhasil mendongkrak rasa percaya diri bahwa riset yang saya lakukan layak disebut sebagai PhD research (hal yang sebelumnya saya ragukan :)).

Second-year viva bersama internal assessor yang sama dengan tahun pertama saya lewati dalam waktu 45 menit, eh, mungkin kurang, karena potong masa membuat kopi oleh internal assessor saya-kira-kira 10 menit dan 5 menit distraction dari seorang student yang tiba-tiba masuk ruangan asessor ketika saya sedang viva. Ada yang berbeda dari hasil assessment 2nd year viva dibandingkan 1st year viva. Tahun pertama, assessor saya menuliskan komentar terhadap hasil viva terlebih dahulu, lalu baru saya memberi tanggapan apakah saya setuju dengan tanggapan komentar tersebut. Tahun kedua, justru assessor meminta saya memberi komentar tentang pelaksanaan 2nd year viva, baru kemudian dia memberi komentar balik terhadap progress riset tahun kedua saya.

Sama dengan tahun pertama, saya menutup tahun kedua dengan ambil cuti pulang liburan ke Indonesia dengan membawa kelegaan bahwa masih berhak melanjutkan tahun ketiga.


3. Tahun Ketiga



Tahun ketiga saya awali dengan mengikuti kompetisi Biotechnology YES, semacam kompetisi khusus untuk PhD students atau post doc untuk menciptakan business plan untuk memasarkan produk bioteknologi yang kami rancang. Lumayan seru juga, dan bisa membangunkan kembali semangat setelah libur panjang.



Tahun ketiga ini, saya semakin paham apa yang harus dilakukan pada riset saya hingga tahun ketiga berakhir. Tapi ya begitu, semua hanya mudah untuk ditulis diatas kertas, tapi sukar untuk dikerjakan. Herannya, saya merasa lebih santai ditahun ketiga ini. Entah itu karena memang sudah lebih paham, atau memang saya sudah pasrah: apa yang akan terjadi terjadilah.



Termasuk ketika saya harus re-formulasi ulang untuk mikropartikel yang saya buat, sedangkan size, kompatibilitas dengan stem sel semua sudah oke. Ada burst release hingga hampir 50% diawal tahap pelepasan obat pada mikropartikel yang saya buat. Dikhawatirkan, burst release ini akan menyebabkan ketoksikan pada stem cell, karena hampir semua obat lepas pada tahap awal. Akhirnya, saya berkejaran dengan waktu, tiap hari, siang, malam, weekend, untuk merubah formulasi agar didapatkan release profile sesuai yang dikehendaki. Melelahkan memang, tapi saya merasa tidak begitu cemas, atau mungkin lebih tepatnya pasrah: apa yang akan terjadi terjadilah.



Empat bulan dari mulai tahun ketiga, thesis-plan sudah saya buat dan didiskusikan dengan supervisor. Supervisor-pun kelihatannya juga lebih santai (atau pasrah?), karena menurut dia thesis plan bisa saja berubah saat menulis thesis yang sebenarnya. Thesis plan juga saya submit ke internal assessor saya dan tidak ada komplain dari beliau mengenai thesis plan yang saya ajukan, atau beliau juga pasrah melihat hasil riset saya yang bagi dia tidak begitu sophisticated? Internal assessor saya adalah tetap orang yang sama sejak tahun pertama hingga final viva nanti. 



Di tahun ketiga ini juga frekuensi saya berpergian juga semakin meningkat. Mulai dari konferensi ke luar UK, hingga harus bolak-balik Nottingham-London untuk mengurus visa, visa untuk konferensi dan visa UK. Yap, diakhir tahun ketiga, ijin tinggal saya habis, sedangkan thesis belum selesai. Mau tak mau, suka tidak suka, saya akhirnya memperpanjang ijin tinggal di UK. Pengurusan visa UK ini justru membuat saya lebih tertekan dibandingkan mengerjakan lab work saya yang harus berakhir per-September 2012. Untungnya, dukungan surat rekomendasi dari sponsor dan supervisor, juga International Office tempat saya belajar bisa mengurangi tekanan yang saya rasakan saat pengurusan perpanjangan visa tersebut. Keputusan perpanjangan ijin tinggal saya peroleh Agustus 2012, dan saya berhak untuk tinggal di UK hingga 21 bulan kedepan, atau hingga studi saya selesai.



Pekerjaan di lab juga sudah terjadwal selesai awal September. Agustus 2012 saya mulai masuk tahap finishing lab work. Hanya tinggal melakukan immunostaining pada sampel yang saya dapatkan setelah menunggu sel tumbuh selama 28 hari....!!!. Pekerjaannya relatif mudah, hanya memakan banyak waktu. Ada satu hal yang sebenarnya kami, saya dan supervisor, rencanakan untuk dikerjakan. Tapi karena waktu tidak mencukupi, supervisor saya menganjurkan cukup sampai di tahap akhir itu. Ketika saya menanyakan, apakah tidak masalah saat ujian akhir/viva, supervisor saya bilang: "Research is never finish, so don't worry about your thesis". Okay deh Bapak........

Akhir September 2012, officially saya meninggalkan lab work dan masuk tahap thesis writing-up.


4. Tahap Penyelesaian



Untuk menulis thesis, sebenarnya saya sudah men-cicil untuk membuat background dan methodology sejak July 2012. Tapi ya itu, karena masih ada lab work yang harus saya kerjakan, hanya sedikit yang bisa saya dapatkan. Kadang dalam 1 hari saya hanya bisa menulis 1 paragraph. Parah ya.....

Terus terang kendala utama saya dalam menulis thesis adalah kendala bahasa, dan ini membuat waktu yang saya perlukan untuk menulis tidak bisa dibandingkan dengan lab-mates saya yang sebagian besar native-english. Tapi, sepertinya supervisor paham kok dengan kendala tersebut, jadi dia lebih sabar mengkoreksi tulisan saya.


Efektif menulis saya lakukan mulai Oktober 2012. Sebagai tempat menulis, saya memutuskan untuk dilakukandi rumah. Excited sekali rasanya, tidak harus bangun pagi dan berangkat ke kampus setiap hari. Ke kampus saya lakukan jika ada e-mail dari supervisor yang meminta saya datang dan mendiskusikan tulisan saya. Itupun biasanya mereka meminta diatas jam 4 sore. Yihaaa...senangnya, jadi saya bisa menulis, sambil ngemil, minum kopi dan membuat cemilan kapan saja saya mau.



Tapi eitsss...tunggu dulu, satu bulan menulis di rumah, saya kok merasa tidak ada progress pada penulisan thesis saya. Siang hari lebih sering saya habiskan untuk menge-cek e-mail masuk, menge-cek facebook, membuka situs berita, menyetel youtube, dan siklus ini akan terus berulang hingga sore hari. Menulis yang benar-benar menulis baru bisa saya lakukan malam hari. Inipun sering terkendala mengantuk dan akhirnya saya tinggal tidur. 



Akhir Oktober, saya melakukan evaluasi hasil kerja saya dan saya putuskan bahwa menulis di rumah adalah tidak efektif. Terlalu banyak distraction dan procrastination yang saya lakukan. Akhirnya, saya memaksa diri untuk kembali bangun pagi, berangkat ke kampus dan menulis hingga bosan. Langkah ini terlihat efektif karena saya cenderung bekerja hingga jam 8 malam tiap hari, pulang, dan lalu tinggal tidur. Cemilan, makanan? Saya membawanya, tapi juga saya batasi, supaya waktu tidak habis hanya untuk makan.



Kelihatannya cara ini memang match dengan gaya saya. Terbukti, awal tahun baru, first draft thesis, dari chapter 1-7 sudah siap dikirim ke supervisor. Supervisor pun ternyata ikut mendukung kecepatan (atau kelambatan?) saya dalam menulis. Dalam 3 hari, first draft tersebut selesai dikoreksi, berikut comments dan suggestions untuk tulisan saya. Tepat di akhir Januari, thesis akhirnya siap disubmit ke bagian akademik.



Selang 1 hari, e-mail dari supervisor masuk ke inbox menanyakan kesediaan saya untuk viva voce examination atau ujian akhir 2 bulan lagi. Agak lama memang, tapi eksternal assessor yang ditunjuk memang baru bisa datang untuk menguji saya 2 bulan lagi. Jadwal ujian mundur 1 bulan dari yang dijanjikan oleh supervisor. Dua bulan menunggu viva, saya gunakan untuk sedikit bersantai dengan mengunjungi teman-teman di seputar UK dan 3 minggu sebelum jadwal viva, saya mulai konsentrasi untuk mempersiapkan viva.



Bisa dikatakan tahap penyelesaian ini merupakan tahap yang paing berat dari PhD. Dulu...dulu ya...saya kira tahun pertama PhD adalah yang paling berat. Tapi ternyata, setelah mengalami semuanya, tahap menulis ini yang paling berat. Kenapa? karena harus berperang untuk melawan kemalasan diri sendiri. Di tahun pertama mana bisa malas, karena kalo tidak kelihatan 1 hari tanpa pamit, akan ada e-mail dari supervisor masuk ke inbox, entah sekedar menanyakan kabar atau perintah untuk melakukan ini-itu. Mana sempat untuk bermalas-malas  'kan? Pada tahap writing-up, kontrol dari supervisor hanya datang 1 bulan sekali, beda sekali 'kan kondisinya, sehingga kontrol pada tahap akhir PhD sepenuhnya ada di tangan saya.



Satu lagi yang agak berat pada tahap penyelesaian yaitu gampang menjadi galau. Entah karena tekanan menulis yang memang sulit atau kebetulan masa writing-up saya berada saat UK mulai memasuki winter atau musim dingin. Saya jadi lebih malas, bangun siang,dan sering tidak mood untuk menulis. Mungkin ini ya yang disebut winter gloom, yang katanya memang mempengaruhi mood. Tapi herannya, tahun sebelumnya kok saya tidak terjangkiti "virus" ini ya?


Semakin mendekati viva, galau di hati semakin menjadi-jadi. Belum lagi mendengar cerita teman-teman sesama PhD students yang (katanya) tidak sukses saat final viva. Aduh...rasanya saya pengin pulang saja ke Indonesia tanpa viva. Untungnya, dukungan orangtua di Indonesia dan teman-teman sekeliling saya begitu banyak, untuk tetap menguatkan kaki saya melangkah maju ke viva.

Tanggal 21 Maret 2013, adalah hari bersejarah untuk tahap PhD saya. Pada hari itu saya berjumpa dengan eksternal assessor yang baru saya kenal didampingi dengan internal assessor yang sudah saya kenal sejak ujian tahun pertama. Supervisor kedua saya melepas saya ke dalam ruang viva sambil meyakinkan, bahwa dalam 2 jam kedepan saya akan berhak menyandang gelar Doktor. Supervisor pertama saya mengirimkan surat permintaan maaf tidak bisa mengantar saya ke ruang viva di pagi hari, karena ada meeting di kota lain, tapi dia berjanji akan menyambut saya setelah selesai viva siang itu.

Dua jam di dalam ruangan, berdiskusi tentang thesis yang saya tulis, tidak begitu terasa. Apalagi, internal assessor saya berbaik hati untuk mebuatkan kopi atau mengambilkan air minum. Sesekali dia melempar joke, untuk membuat saya lebih relax, tapi kali ini joke dari dia tidak banyak membantu. Bantuan dari internal assessor justru saya rasakan ketika saya tidak bisa memahami apa yang ditanyakan oleh penguji. Internal assessor akan menjelaskan dengan bahasa yang lebih sederhana sehingga saya bisa paham dan menjawab pertanyaan tersebut. Setelah 2 jam, saya akhirnya dikeluarkan dari ruangan. supervisor sudah menyambut saya di depan pintu. Kurang lebih 5 menit, tapi terasa 1 jam bagi saya, saya diminta masuk kembali dan dinyatakan lulus. Saat itu, badan rasanya ringan sekali, dan hanya satu yang ingin saya lakukan saat itu, yaitu pulang ke rumah dan tidur...:D. 

Sebenarnya tahap PhD ini belum sepenuhnya selesai, karena masih ada minor correction yang harus saya kerjakan. Satu hal yang membuat saya lega, internal assessor saya berjanji untuk cepat melakukan koreksi, jika saya pun cepat memasukkan hasil koreksi. Dalam waktu 2 minggu dari tanggal viva, internal assessor saya setuju dengan revisi yang saya buat dan surat tanda lulus dari PhD program akhirnya keluar dari bagian akademik. Ini juga mebuat langkah saya untuk pulang ke Indonesia semakin ringan. Satu bulan saya pergunakan untuk persiapan pulang ke tanah air, dan akhirnya tepat 1 Mei 2013, dinihari, kaki saya sudah menginjak tanah Indonesia kembali.


Ada beberapa hal yang ingin saya pesankan pada teman-teman, yang saat ini baru memulai langkah atau berencana mengambil PhD program. Bahwa kehidupan PhD itu banyak sekali warnanya, mulai dari warna bahagia, sedih, galau, takut, underpressure dan sebagainya. Warna tersebut akan berganti terus selama masa studi tanpa bisa kita duga, tinggal bagaimana kesiapan kita untuk menghadapi perubahan tersebut. Terkait dengan kehidupan akademik dan non-akademik yang nantinya akan mendukung akademik (halah...bingung ya :-o), point berikut mungkin perlu disadari oleh teman-teman:

1. Riset PhD adalah sepenuhnya riset kita, sehingga kita harus memahami betul tentang apa yang akan dikerjakan, dan bagaimana mencari solusi atas permasalahan tersebut. Jangan terlalu bergantung dengan supervisor. Ingat, teman-teman adalah PhD candidate, yang nantinya dapat mempertanggungjawabkan segala hal terkait riset, yang sudah dilakukan. Peran supervisor adalah membimbing dan mengarahkan agar riset tetap berada di jalur yang benar, berdasarkan pengalaman mereka. Jadi, kadang memang keputusan ada di tangan kita, untuk memilih jalur mana yang harus diambil untuk menyelesaikan riset.

2. Selalu konsisten dalam mengerjakan sesuatu. Apapun yang terjadi, komitmen untuk menyelesaikan riset di lab dan penulisan tesis tetap harus dijaga. Naik-turun mood itu biasa, tergantung bagaimana kita mengatasinya agar mood tetap terjaga baik. Menjaga jadwal untuk bangun, bersiap, berangkat ke kampus dan pulang dari kampus pada waktu yang sama sedikitnya bisa menjaga mood untuk tetap baik dan bersemangat mengerjakan riset.

3. Mulailah menetapkan cara bekerja yang paling nyaman dan jangan ragu untuk berubah kearah yang lebih baik. Setiap orang mempunyai style tersendiri dalam mengerjakan pekerjaannya. Ada yang lebih senang bekerja di pagi hari, ada yang lebih senang siang, bahkan malam hari. Pun ada yang suka ketenangan dalam mengerjakan, ada yang suka mendengarkan musik atau bahkan sambil makan makanan kecil. Tapi, jangan terjebak pada style yang sama jika style tersebut tidak efektif diterapkan untuk PhD students. Jadi, jangan segan-segan melakukan self-evaluation terhadap style kerja dan hasil yang sudah dicapai atau didapatkan.

4. Cari teman sebanyak mungkin, baik yang senasib maupun yang tidak :). Kita akan menyadari bahwa yang menghadapi kesulitan itu bukan hanya kita, tapi semua orang pasti punya problem, sekecil apapun itu. Membuka diri terhadap orang disekitar kita, khususnya di sekolah atau lab yang sama, sedikitnya bisa membantu. Kadang mereka bisa memberikan saran-saran berguna, berdasarkan pengalaman mereka, yang kadang tidak didapatkan dari supervisor. Teman ini jugalah yang natinya akan menampung cerita-cerita galau kita. Meskipun kadang mereka tidak memberikan saran apapun, setidaknya beban masalah sudah berkurang dengan jalan diceritakan pada orang lain. Jadi mulailah untuk menyapa orang disekitar kita ya, baik di kampus maupun di luar kampus.

5. Beri hadiah pada diri sendiri. Jadi PhD student tidak berarti kiamat terhadap jalan-jalan dan hang-out. Ada kalanya kita perlu bersenang-senang, pergi ke bioskop, makan-makan dan hang-out dengan teman sekolah, teman non-sekolah maupun belanja barang yang sudah lama diidamkan. Tentunya kalo sudah ada tahap prestasi yang kita lalui, misal, sehabis presentasi, atau sehabis supervisor meeting atau monthly report.Jangan terlalu pelit terhadap diri sendiri, karena hidup itu sebenarnya sudah "keras", jadi jangan menjalaninya lebih "keras" lagi.

Anyway, panjang juga curhat saya kali ini (dan saya merasa ini masih kurang untuk merangkum 3.5 tahun :P). Tapi, kelihatannya cukup untuk kompensasi blog yang tidak up-date selama 1.5 tahun ini.
Lain waktu, saya akan cerita tips cepat untuk menulis thesis ya, mungkin ini akan bermanfaat nantinya bagi teman-teman yang sudah sampai pada tahap penyelesaian.

Selamat hari pertengahan Desember, tetap berkarya dan semangat menyongsong pergantian tahun.


Ciao...:D