Sunday, December 18, 2011

Pilihan Kehidupan


Hari minggu yang baik untuk bersantai. Setelah membereskan kamar dan merapikan pakaian bersih yang bertumpuk setelah dicuci, Sekar menyalakan komputernya. Jemarinya meng-klik salah satu situs yang telah di bookmark pada browser di komputernya, www.facebook.com.

Muncul foto gadis kecil lucu dengan gaun batik, bermata sipit, pada posting wall facebooknya. Pipi gadis itu menempel pada pipi wanita, yang juga bermata sipit. Rika, teman SMP dan juga tetangga Sekar dulu. Rika tidak pernah berada satu kelas dengan Sekar. Hanya karena mereka sekolah pada SMP yang sama dan rumah mereka berdekatan, Sekar menjadi akrab dengan Rika. Setiap pagi, Sekar selalu menjumpai Rika menunggu angkutan yang sama untuk berangkat ke sekolah. Pun, begitu pula disaat pulang sekolah. Lama-kelamaan mereka menjadi akrab dan sering berbagi cerita. Rika yang ia kenal adalah seorang gadis yang cerdas dan ramah. Penampilan Rika juga sederhana, tidak seperti teman-teman sebaya mereka yang saat itu sedang memasuki masa pubertas, yang sering berdandan mencolok dan bertingkah laku aneh untuk menarik perhatian cowok sekelas atau kakak kelas.

Setahun yang lalu, Rika meng- add Sekar untuk menjadi teman di facebook. Sekar pun masih mengingat gadis cerdas itu, meskipun lebih dari 15 tahun berlalu sejak mereka lulus SMP dan pindah meninggalkan kota kelahirannya. Sesaat setelah itu, muncul sapaan dari Rika di wall Sekar, "Sekar.....apa kabar? Masih ingat aku? Sudah berapa anak buah sekarang...:-))". Rika masih seperti dulu, ramah dan bersahabat. Sekar membalas sapaan Rika dengan menulis comment di bagian bawah posting tersebut, " Haiiii Rika, alhamdulillah baik. Aku belum punya anak buah Rika, masih cari Bapaknya dulu nih..hehehe....". Jawaban jujur yang Sekar berikan, Jawaban yang mungkin membuat Rika merasa kasihan dengannya, bahwa sampai seusia mereka saat ini, belum ada pasangan hidup untuk Sekar. 

Melihat foto-foto di album facebook Rika, setahun yang lalu, Sekar jadi mengambil kesimpulan bahwa Rika baru dikaruniai satu putri, yang menurut estimasi Sekar, saat itu berusia sekitar 6 bulan. Melihat foto demi foto di album "My Family" milik Rika, Sekar benar-benar terkejut. Ada foto idola mereka masa SMP dulu, yang ternyata adalah suami Rika saat ini. Wow, wajah laki-laki itu sedikit berubah, tapi Sekar masih mengenali wajah itu, Krisna, jago basket sekaligus ketua OSIS saat mereka kelas dua SMP. Ada sedikit yang berubah dari Krisna dalam foto itu, dia terlihat lebih dewasa dan kebapakan, dan juga perutnya terlihat lebih membuncit. Wajahnya tidak seganteng waktu SMP. Entahlah, itu hanya perasaan Sekar saja atau memang begitu kenyataannya. Yang jelas, saat itu Sekar tertawa geli dalam hati, oh ternyata memang penampilan fisik bukan segalanya, dia akan tergerus oleh waktu. Dan itu terbukti pada Krisna. Dia yang dulu jadi idola para cewek di sekolahnya, paling keren dan ganteng, saat ini pun penampilannya standar untuk seorang pria dewasa dengan satu anak. Atau, mungkin juga cara pandang Sekar, yang bukan ABG lagi, yang sudah berubah, sehingga seleranya juga telah berganti?

Sekali waktu, Rika menyapanya saat Sekar sedang on-line. Mulai dari berbasa-basi menanyakan kabar, akhirnya Sekar menanyakan tentang Krisna pada Rika. "Hei Rika, aku baru tau ternyata Krisna itu suamimu. Jadi ingat waktu kita SMP," tulis Sekar pada Rika. Rika pun membalas, "Hehehe....jodoh ternyata rahasia Tuhan. Ternyata Krisna sudah nge-fans denganku sejak SMP". Terbayang bagaimana Krisna saat SMP dulu, ganteng, jago basket, jadi ketua OSIS. Layaklah jika Krisna bangga dengan semua itu dan menjadikannya memilih-milih teman perempuan mana yang layak bergaul dengannya. Sekar ingat sekali, Krisna pernah menjalin cinta monyet dengan Evie, teman sekelasnya, gadis manis dan langsing dengan rambut panjang. Dugaan Sekar, gadis dengan penampilan biasa seperti Sekar dan Rika pasti tidak masuk hitungan Krisna saat itu. 

Krisna pun akhirnya melabuhkan dirinya pada Rika. Rika memang pantas dipilih. Meskipun penampilannya tidak istemewa, ada banyak keistimewaan lain dari kepribadiannya. Rika sangat ramah dan bersahabat, itu yang Sekar rasakan saat berteman dengan Rika. Rika juga cerdas. Senyum ceria dari Rika sepertinya pancaran dari sifat bersahabat dalam diri Rika. Krisna, kamu  memang tidak salah untuk memilih Rika sebagai pendamping hidupmu. Dan, bayi berumur 6 bulan di Facebook Album Rika, saat ini sudah menjelma menjadi gadis kecil bergaun batik pada foto yang muncul di wall facebook Sekar. Senyum manis Rika dengan binar bersahabat dari mata Rika menemani gadis kecil kecil bermata sipit itu. Ahh, pasti Krisna yang mengambil foto mereka berdua sehingga dia tidak muncul pada foto anak dan ibu itu. 

Sekar tersenyum dan menghela nafas, keluarga yang sangat bahagia. Jemarinya kembali berpindah pada mouse di sisi kanannya dan mulai merunut posting selanjutnya. Heiii, ada foto James bersama istrinya Valencia, mereka sedang merayakan 1st anniversary pernikahan mereka. Sekar mengenal keduanya dengan baik, dari sebelum mereka menikah. Valencia pernah magang di group research yang sama dengan Sekar selama 3 bulan. Program PhD yang diambil Valencia memang sedikit berbeda, yaitu Doctorate Training Centre, dimana di tahun pertama Valencia harus mengerjakan mini project di beberapa group research, termasuk diantaranya di research group yang sama dengan Sekar.


Pribadi Valencia yang terbuka menjadikan Sekar akrab dengan gadis Jerman ini, meskipun mereka hanya bersama selama 3 bulan. Valencia senang bercerita tentang berbagai hal, termasuk betapa bahagianya dia saat James melamarnya. "I am very happy, Sekar. I should let my family know about this. Saya akan mengabarkan berita bahagia ini saat saya pulang ke Jerman untuk merayakan Christmas nanti," dengan wajah  berbinar Valencia bercerita tentang bagaimana James telah melamarnya. Ya, peristiwa itu terjadi 2 tahun yang lalu.


Tanpa disangka, satu tahun kemudian, ada seorang PhD student yang bergabung di group yang sama dengan Sekar. Sekar hanya tahu bahwa PhD student itu berasal dari universitas lain dan sedang mengerjakan proyek kolaborasi dengan universitas tempatnya belajar. Karena kesibukan Sekar saat itu, dia belum sempat bertegur sapa dengan anak baru tersebut. Hingga pada suatu ketika, saat Sekar keluar akan keluar dari ruang makan, ada seseorang yang mendorong pintu dari arah luar dan nyaris membuat badan Sekar tersodok oleh pintu. Ohhh....ternyata anak baru itu. "Sorry, Sekar, did I hurt you?", anak baru itu menegur Sekar. Sekar menggeleng dan tersenyum, "No problem, I am okay". Sambil berlalu Sekar bertanya dalam hati," Hei, darimana dia tahu namaku, bukankah kita belum berkenalan? Sebegitu terkenalkah aku di group ini, sehingga anak baru itu langsung tahu namaku?".


Pertanyaan itu terjawab beberapa hari kemudian, ketika Sekar sedang memanaskan makanan di ruang makan. Anak baru itu pun sedang mengantri microwave yang sama dengan Sekar. "Hi, Sekar," sapa anak baru sambil tersenyum. Sekar membalas sapaannya sambil tersenyum. "I am James. Saya tahu banyak tentangmu Sekar, dari Valencia. Saya adalah tunangan Valencia. Kamu masih ingat dengan Valencia?" James membuka percakapan dengan Sekar. "Tentu James, saya masih ingat dengan Valencia. Senang bisa berkenalan denganmu, James," balas Sekar. "So, sekarang kamu bergabung di group ini?" Sekar melanjutkan percakapan. "Ya, saya mengerjakan proyek kolaborasi antara universitas saya dengan universitas disini. Sehingga ada beberapa pekerjaan yang membuat saya harus pindah ke Universitas ini," ujar James.


Perkenalan itu menjadi awal keakraban Sekar dengan James. Tiga bulan setelah James resmi bergabung sebagai PhD student di group yang sama dengan Sekar, Sekar mendapat berita bahwa James dan Valencia akhirnya melangsungkan pernikahan mereka. "Congratulations for your wedding, James. Send my regards to Valencia," tulis Sekar di Wedding Card untuk James. 


Valencia tidak salah dalam memilih pasangan hidupnya. Secara penampilan fisik, penampilan James tidak termasuk yang diunggulkan untuk standar pria British. Tapi Sekar tahu bahwa James adalah seorang pria yang baik dan bertanggung jawab. Setelah hampir 1 tahun berada dalam group research yang sama dengan James, terlihat sekali bagaimana James begitu perhatian terhadap orang lain. Tidak hanya terhadap Sekar, tapi juga terhadap teman-teman yang lain. Pun ketika saat Sekar harus pulang malam hari karena ada farewell party salah seorang anggota groupnya, James menawarka tumpangan pada Sekar. "I will be fine James, masih ada bus yang menuju ke rumah saya," Sekar mencoba menolak, meskipun dalam hati Sekar juga merasa khawatir menunggu bus sendiri saat mendekati pukul 11 malam. "Tidak, Sekar, tidak baik untukmu. Apalagi kau adalah pendatang di negeri ini. Lebih baik bersamaku. Lagipula, jalur yang aku tempuh pasti melewati tempat tinggalmu," James tetap menawarkan tumpangan pada Sekar. "Baiklah, kalau kamu tidak keberatan, James," akhirnya Sekar memutuskan. "Tentu tidak, Sekar. Kamu adalah temanku. Keselamatanmu adalah tanggung jawabku, " ujar James. 


Sekar meng"klik" tombol "like" pada foto anniversary James dan Valencia. "Happy anniversary for both of you...," Sekar menambahkan komentar pada foto mereka. Pasangan yang berbahagia dan saling mengisi. James memang pantas untuk Valencia. Berbahagialah Valencia, karena saat ini engkau bersama orang yang tepat. Seseorang yang baik dan bertanggung jawab. Sekar jadi bisa memahami mengapa Valencia memilih James, yang mungkin secara penampilan fisik tidak ada yang diunggulkan. Sekar yakin bahwa Valencia memilih James karena melihat kebaikan yang terpancar dari dalam diri pria British itu. 


Betapa mudahnya orang-orang disana memilih dan memutuskan pasangan hidup yang terbaik bagi mereka. Seperti Krisna yang memilih Rika dan James yang memilih Valencia. Bagaimana mereka bisa memutuskan bahwa dia yang terbaik, sedangkan hal ini berkaitan dengan masa depan yang belum terjadi? Pertanyaan itu selalu ada dalam benak Sekar dan jawabannya belum ditemukanya hingga sekarang, meskipun saat ini sudah tingkat pendidikan PhD yang dia ambil. Selalu saja ada keraguan di hati Sekar.


Termasuk juga keraguan terhadap kesungguhan Adriano. Apakah dia benar-benar bersedia untuk jadi teman yang baik sepanjang hidup Sekar? Apakah Adriano adalah orang yang tepat bagi dirinya? Hingga saat ini, Sekar belum bisa meyakinkan dirinya sendiri. "Sekar, aku bersungguh-sungguh terhadapmu," ucapan Adriano kembali terlintas. "Benarkah?" pertanyaan itu selalu ada dan membuat Sekar menghindari Adriano. Banyak perbedaan diantara mereka. Perbedaan budaya dan perbedaan usia. Ini yang membuat Sekar selalu berpikir untuk bisa menerima Adriano.


**********


Pria itu, Adriano Batista, lima bulan yang lalu datang dalam kehidupan Sekar. Ya, sejak supervisor Sekar memberi tugas kepadanya untuk menjadi Task Supervisor untuk mahasiswa program MSc. Adriano, berkebangsaan Italia, adalah mahasiswa yang harus Sekar dampingi. Untuk menyelesaikan program Masternya, Adriano harus mengerjakan mini project selama 3 bulan di lab yang sama dengan Sekar. Sebagai Task Supervisor, Sekar menjadi tempat bertanya dan berdiskusi bagi Adriano. Diskusi ini juga hanya terbatas tentang mini project yang dikerjakan Adriano, termasuk strategi-strategi modifikasi polymer agar bisa mencapai targetnya dalam menghantarkan obat dan masalah-masalah yang dihadapi Adriano dalam pekerjaan di lab. Sekar berusaha membantu menyelesaikan masalah-masalah tersebut, meskipun kadang juga tidak terselesaikan karena Sekar belum pernah menjumpai masalah tersebut sebelumnya.


"Sorry Adrian, aku juga tidak tahu kenapa metode ini tidak bisa kita aplikasikan pada sistem yang sudah kamu rancang. Tapi aku akan mencoba mencari publikasi yang terkait dengan hal ini. Mungkin kita bisa tahu jawabannya. Semoga kamu juga bisa menemukan jawabannya segera," ujar Sekar sembari melihat protokol kerja yang telah ditulis oleh Adriano. "Lalu, apa yang bisa aku lakukan? Waktuku untuk mengerjakan project ini tidak banyak, Sekar. Huhhh......apa lagi yang harus aku lakukan, " Adriano berkata sambil meremas kertas di hadapannya. "Cobalah melihat beberapa publikasi yang sudah ada. Aku akan membantu mencarinya juga. Okay, kita bertemu besok setelah jam 3 sore," ujar Sekar sambil meningglkan Adriano.


Tak disangka, saat mereka bertemu keesokan harinya "Sekar, aku temukan jawabannya. Ternyata Simvastatin lebih larut dalam metanol, sehingga kita bisa mengekstraksi simvastatin dari partikel dengan methanol dan mengendapkan polymernya dengan acetone," Adriano sudah menemukan jawaban atas problem di pekerjaan lab-nya. "Ahaaa....great, mari kita coba. Hari ini kita run sample-mu, semoga kita bisa dapat hasilnya sore ini," Sekar menyambut berita ini dengan gembira. Jika problem ekstraksi simvastatin dari polymer sudah ditemukan jalannya, tentunya project Adriano akan lebih lancar dan akan selesai dalam 3 bulan. 


Sebagai task supervisor, Sekar selalu ada untuk membantu Adrian, terutama yang terkait dengan teknis kerja. Sekar tahu, bagaimana rasanya kebingungan seorang yang baru pertama kali penelitian karena dia pun merasakan hal itu di tahun pertamanya. Tentu hal ini juga akan berat bagi Adrian, yang hanya punya waktu 3 bulan dalam mengerjakan project-nya. Selama bergaul dengan Adrian, Sekar mersakan ternyata Adrian adalah sosok yang menyenangkan. Dengan cerita-cerita lucunya, selalu membuat Sekar tertawa sambil mengerjakan pekerjaan di lab. Adrian juga menjadi teman yang baik saat istirahat di sela pekerjaan lab-nya. Perasaan nyaman pun mulai muncul pada Sekar jika berada dekat Adrian.


"Adrian, setelah selesai project ini, apa yang akan kamu lakukan?" tanya Sekar di sela waktu istirahat mereka. "Menulis laporan untuk disertasi," sahut Adriano sambil menghirup kopi dicangkirnya. "Lalu? Tidak inginkah kamu melanjutkan PhD setelah selesai program Master ini? Project mu sangat menarik. Kamu bisa melanjutkan ke PhD. Sistem polymer yang kamu rancang itu bisa dimodifikasi dengan gugus aktif terhadap protein, sehingga bisa langsung masuk ke sel target, " Sekar dengan bersemangat menjelaskan sistem usulannya pada Adriano. "Entahlah, Sekar. Belum terpikir olehku. Tapi idemu boleh juga, " Adriano menjawab. "Atau kita masukkan sistem yang kamu buat tadi dalam pembawa PLGA-PEG, yang sifatnya tiksotropi, sehingga cair saat di masukkan dalam tubuh dan menjadi padat pada suhu tubuh," Sekar dengan bersemangat menawarkan idenya. "Ayolah Sekar, berhentilah berpikir tentang research project. Ini waktu istirahat," Adriano memberikan coklat yang dia bawa pada Sekar. "Bicaralah tentang hal lain, please. Ini sudah sore, aku capek memikirkan hal-hal ilmiah. Lagi?"   Adriano mengangsurkan coklat ditangannya ke arah Sekar. "Hehehe....maaf Adrian, topik ini membuatmu bosan," Sekar mengambil coklat yang diangsurkan Adriano.


"Terus, kamu ingin kita bicara apa?" lanjut Sekar. "Hmmm, apa ya? Yap...tentang pasangan ideal. Kamu ingin pasangan dari negara mana?" Adrian merespon pertanyaan Sekar. " I have no idea. Yang penting dia baik, " jawab Sekar sambil mengaduk sisa kopinya. "Sudahkah kamu menemukannya?" tanya Adrian. Sembari tersenyum Sekar menjawab, "Tentu belum Adrian. Kalo sudah tentu aku sudah menikah dengan dia, tidak mengambil PhD di negera yang jauh ini dan tidak berada disini bersamamu. "Kalo kamu?" Sekar balik bertanya pada Adrian. "Aku...hmmmm.....Inginnya dari pasangan Asia. Aku suka warna kulit orang Asia dan budaya mereka yang santun. Gaya bicara yang lembut, tetapi tetap tegas berpendapat", jawab Adrian. Tatapan Adrian dan nada suaranya berubah, "Aku ingin pasangan hidup sepertimu Sekar". Plassshh....serasa aliran udara hangat menerpa wajah Sekar. Sekar wanita dewasa yang bisa menguasai diri, dia hanya tertawa kecil mendengar pernyataan Adrian. "Aku yakin kamu bercanda Adrian. Ayo kita pulang, hari sudah mulai gelap, "Sekar bangkit dari kursinya. "Sampai ketemu besok. Bye, "Sekar berjalan menuju ruangannya. "Have a good night, Sekar", balas Adrian.


Malam harinya, Sekar memikirkan perkataan Adrian. Tahukah kamu Adrian, aku juga sebenarnya merasa nyaman denganmu. Hati kecil Sekar menyatakan hal itu. Tapi, apakah kamu bisa membuatku merasa seperti itu selama hidupku?. Dialog-dialog itu muncul dalam diri Sekar. Sekar tahu, Adrian usianya jauh lebih muda darinya. Bisakah dia menjadi pendamping yang bersedia membimbing Sekar di kehidupan? Bisakah Adrian masuk dalam keluarga besar Sekar? Bisakah keluarganya menerima Adrian yang usianya bahkan lebih muda dari adiknya yang bungsu? Bisakah ia masuk dalam keluarga Adrian yang berkebangsaan Italia? Dimana nanti mereka akan tinggal setelah menikah? Di Indonesia, Italia, atau tidak keduanya? Ahhh....pertanyaan-pertanyaan yang semakin memenuhi pikiran Sekar. Menyelesaikan PhD program tepat waktu saja sepertinya sudah menyita pikiran, haruskah pertanyaan tambahan itu menyita ruang di pikirannya juga?


Sejak sore itu, Sekar mulai menjaga sikap dengan Adriano. Hubungan dia dan Adrian hanya sebatas Task Supervisor dan project student, tidak lebih. Saat istirahat, Sekar selalu menghindari Adriano. "Coffee time....," ajak Adriano. "Aku masih ada yang harus dikerjakan. Aku terpaksa merelakan istirahat kopiku," Sekar menolak tawaran Adriano.


Adriano sepertinya merasakan perubahan sikap Sekar. Hingga suatu sore, saat Sekar bersiap pulang, Sekar melihat lambaian tangan Adriano dari luar. Sekar membuka pintu ruangannya dan menemui Adriano. "Hai, ada yang bisa aku bantu?" Sekar tetap menjaga sikapnya terhadap Adriano. "Sekar, aku tahu ada yang berubah darimu sejak sore itu. Bisakah kita bicara sebentar? Aku buatkan cappucino untukmu. Please, Sekar. Tidak lebih dari 30 menit, " pinta Adriano. Sekar menghela nafas," Okay, 30 menit untukmu dan segelas Cappucino untukku. Deal". Adriano tersenyum gembira karena Sekar menerima tawarannya.


"Aku serius dengan pernyataanku, Sekar. Aku ingin kita bisa menjalin hubungan yang lebih serius, Sekar" ujar Adriano sambil menatap Sekar. Sekar tahu, pria dihadapannya berkata jujur. Cahaya kesungguhan itu terpancar dari matanya. Tapi beribu keraguan masih mengganjal dalam hati Sekar. 


"Aku tahu Adrian, aku tahu itu dan percaya padamu. Tapi, tidakkah kau tahu Adrian, banyak sekali perbedaan antara kita. Kita berbeda Adrian, bisakah kita menjalani ini?" balas Sekar sembari mencari jawaban di mata Adrian. "Well, aku tahu itu Sekar. Tapi apakah perbedaan ini menjadi penghalang? Bisakah kita membangun jembatan agar perbedaan itu bisa terhubung?. Aku yakin kita bisa, please Sekar, apa yang kau pikirkan saat ini? Aku tidak tahu bagaimana caramu menjalani hidup jika kau sendiri tidak berusaha menjadikannya lebih baik,"   jawab Adrian untuk membuat wanita di hadapannya percaya. "Ya, tapi aku tidak cukup siap untuk membangun jembatan itu. Setidaknya untuk saat ini " balas Sekar. " Ada aku bersamamu Sekar, kita bangun bersama jembatan itu," ujar Adrian. "Aku ingin seseorang yang tidak hanya membantuku untuk membangun jembtan itu, tapi seseorang yang bisa membimbing dan menjagaku saat membangun jembatan tersebut. Aku bukan seorang yang cukup kuat untuk membangun jembatan itu Adrian, " ucap Sekar lirih. "Itu berarti kau tidak yakin denganku Sekar?" Adrian berusaha mencari jawaban dari Sekar. "Maaf Adrian, ada banyak hal yang belum bisa aku ungkapkan padamu. Percayalah, pada waktunya nanti kau juga akan bisa paham", ujar Sekar.


"Entahlah, aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan Sekar, untuk membuatmu yakin denganku. Semoga aku bisa menemukan cara lain dan bisa membuatmu yakin. Apakah perlu hipotesis dan data pendukung terlebih dulu?" Adrian berkata sembari tersenyum tipis. "Aku yakin pasti ada jalannya. Okay, 30 menit sudah aku mengambil waktumu," Adrian bangkit dari kursi mengakhiri pertemuan itu. "Semoga kau memikirkan perkataanku tadi Sekar", Adrian menenteng tasnya dan melambaikan tanggannya. "Bye," Sekar membalas lambaian tangan Adrian. 


Sekar berjalan kembali ke ruangannya sembari bermain dengan pikiran dan hatinya. "Adrian, entahlah, kenapa sampai saat ini aku belum yakin bahwa kau bisa jadi tempatku berlindung dan bisa membimbingku. Atau ini karena usiamu yang lebih muda dariku? " Sekar berdialog dalam hati. Sekar sendiri tidak tahu jawabannya. Tapi Sekar tidak mau melangkah jika dia sendiri masih ragu. Setidaknya untuk saat ini.


*********


Sekar masih berada di depan layar komputernya. Oh ya, ada foto yang ingin dia upload di facebook. Foto dari perjalanannya kemarin di Birmingham kemarin. Di kereta, dia bertemu dengan Cheung, lab mate nya, beserta pacarnya. Setelah foto ter-upload, Sekar memberi judul foto "on the way to Birmingham", dan tidak lupa memberi tag pada wajah Cheung di foto tersebut.


Tangan Sekar beralih membuka sekotak coklat dengan pita emas di sampingnya. Kotak coklat pemberian Adrian yang dia terima Jum'at lalu sebagai tanda perpisahan. "Sekar, terimakasih atas bantuanmu dalam final project-ku. Aku akan kembali ke Italia minggu depan. Tapi aku tidak akan melupakanmu Sekar. Aku akan kembali setelah menemukan cara lain untuk membuatmu percaya padaku," ucap Adrian sembari menyerahkan sekotak coklat pada Sekar. "Terimakasih Adrian, aku juga minta maaf jika aku telah mengecewakannmu. Mungkin suatu saat nanti pendirianku akan berubah. Tidak sekarang tentunya, karena akan membuatmu membatalkan untuk kembali ke rumah, " balas Sekar sambil tersenyum. "Tunggu aku Sekar, aku pasti kembali," Adrian mengucap kata perpisahan. "Hei, kau tidak boleh berjanji seperti itu. Aku tidak mau menunggumu disini terus. Aku juga ingin cepat lulus dan keluar dari gedung ini," balas Sekar sembari tertawa. "Hahaha....tentu Sekar. Good luck for your PhD, " ucap Adrian sembari melambaikan tangan.


Ya, Sekar pun tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Mungkin dengan berjalannya waktu, Sekar akan siap jika Adrian kembali. Mungkin dia akan menemukan Adrian yang lain. Atau mungkin juga ada yang lain selain Adrian, yang siap membimbing dan melindunginya? Seseorang yang siap mengajak Sekar untuk melangkah bersama melewati jembatan kehidupan tanpa keraguan. 


Dan saat ini, layar komputer masih terhampar di hadapan Sekar, dengan beberapa new stories pada wall facebook.










Posting cerita palsu pertama
Nottingham, 18 December 2011











Saturday, November 26, 2011

Suka dan Tidak Suka

Saya suka winter, karena malam lebih panjang sehingga dapat cukup tidur
Saya tidak suka winter, karena sering turun salju yang bikin jalanan licin dan bikin terpleset

Saya suka summer, karena terang lebih lama sehingga bisa aktif terus
Saya tidak suka summer, karena tidak dapat cukup tidur

Saya suka sambal, jika dimakan dengan pecel lele atau bebek goreng
Saya tidak suka sambal, jika dicampur dengan makanan berkuah

Saya suka makan pecel, apalagi pecel ponorogo
Saya tidak suka pecel, yang dijual di warung nya Mbak Pur

Saya suka tempe, apalagi dimakan dengan sambel bawang
Saya tidak suka tempe, yang dibungkus tepung dan dijual di warungnya Mbak Pur

Saya suka coklat, kalo sedang lapar dan bosan
Saya tidak suka coklat, karena sering bikin batuk

Saya suka kopi, karena bisa bikin kenyang dan bikin mata melek
Saya tidak suka kopi, karena bikin sering bolak-balik ke kamar kecil

Saya suka sekolah, karena ada kesempatan untuk tambah teman dan jalan-jalan
Saya tidak suka sekolah, kalo harus bikin monthly report dan presentasi

Saya suka mengajar, kalo mahasiswanya enak diajak komunikasi
Saya tidak suka mengajar, kalo harus menyiapkan bahan kuliah

Saya suka penelitian di lab, kalo hasilnya sesuai dengan yang saya prediksi
Saya tidak suka di lab, setelah menunggu satu bulan, ternyata hasilnya negatif

Saya suka berada ditempat yang baru, jika teman-teman baik dan menyenangkan
Saya tidak suka berada di tempat yang baru, karena perlu kerja keras untuk menyesuaikan diri

Saya suka warna pink, karena terlihat manis dan lembut
Saya tidak suka warna pink, karena tidak pernah bisa menolak warna ini

Saya suka pakai celana jeans, karena terasa lebih luwes dan PeDe
Saya tidak suka pakai celana jeans, karena Ibu saya selalu protes kalo saya pakai jeans

Saya suka melihat-lihat facebook, karena jadi tahu kabar terbaru
Saya tidak suka facebook, karena mengintip kabar orang lain itu bisa menyita waktu

Saya suka pulang mudik ke Indonesia, karena bisa santai dan banyak makanan enak
Saya tidak suka pulang mudik ke Indonesia, karena merasa Indonesia itu sumpek dan kebanyakan orang

Saya suka tinggal di Inggris, karena semua serba teratur
Saya tidak suka tinggal di Inggris, terutama saat summer yang bikin saya kurang tidur

Saya suka weekend, karena saya jadi punya kesempatan untuk up-date blog ini...:-))
Saya tidak suka weekend, karena bikin malas di hari Senin

Suka atau tidak suka, itu pilihan dengan berbagai alasan
Suka atau tidak suka, semua harus dijalani.
Suka atau tidak suka, kalo sudah masuk blog saya harus baca tulisan iseng ini...:-))



Posting iseng di malam Sabtu



Saturday, June 18, 2011

Moving


Moving atau pindahan!!! Hal yang sebenarnya paling saya benci. Rasa kurang nyaman dengan pindahan ini adalah hal yang sangat manusiawi karena seseorang cenderung malas untuk meninggalkan zona nyaman. Membayangkan harus membereskan barang, angkut-angkut, merapikan barang di tempat yang baru, ganti alamat dan lain-lain, memang jadi faktor-faktor keberatan saya jika harus pindahan.

Sewaktu undergraduate, saya termasuk yang tidak pernah pindah tempat kos. Dulu pernah sempat berpikir untuk cari tempat kos baru karena tarif di kos yang lama naik. Tetapi setelah mencari dan mengunjungi beberapa tempat kos, tempat kos yang lama kok terlihat lebih nyaman dan murah ya. Alhasil saya urungkan niat untuk pindah kos hingga saya akhirnya lulus apoteker.

Lulus dari perguruan tinggi di Jogja, saya diterima kerja di Universitas swasta di Solo. Karena malas pindahan, saya nekad "nglaju" atau jadi komuter Jogja-Solo selama 1 bulan. Tapi ternyata....capeeekkkkk deh......serasa tua di jalan dan jadi tidak efektif. Setelah pulang, saya jadi tidak bisa mengerjakan pekerjaan yang lain. Akhirnya, saya mulai mencari tempat kos di Solo, dan pindahan lagi.

Tempat kos saya di Solo ini termasuk nyaman, bagus dan murah. Ibu Kos nya pun baik hati. Saya tentu betah sekali dan tidak melirik kos yang lain untuk pindah. Sampai akhirnya saya memutuskan pindah ke Bandung karena mengambil program Master di ITB. Hufff...terulang lagi peristiwa cari kos dan pindahan.

Pertama di Bandung, saya dapat tempat kos di daerah Cisitu Baru. Tempatnya bagus dan cukup nyaman, dekat pula dengan Pasar Simpang Dago. Tempat ideal memang untuk saya karena daerah ini merupakan tempat ideal untuk jajan dan membeli makanan. Hanya saya merasa kesepian di tempat baru ini. Di Kos Cisitu ini penghuninya mencapai 35 orang, sehingga kami saling tidak mengenal satu sama lain. Bagi saya yang terbiasa dengan budaya kos-kos-an di daerah Jogja dan Solo, keadaan seperti ini sangat tidak nyaman. Di kos Jogja dan Solo, sesama penghuni kos saling mengenal satu sama lain dan menyempatkan bertegur sapa.

Niat mencari tempat kos dengan penghuni yang lebih sedikit akhirnya tercapai. Teman saya di kampus menawarkan kos di dekat rumahnya, daerah Kebon Bibit, yang penghuni kosnya hanya sekitar 4-5 orang. Jumlah penghuni ideal menurut saya, karena dengan jumlah penghuni yang tidak terlalu banyak ini, kita bisa saling mengenal satu sama lain. Menginjak bulan keempat di Bandung, saya pun pindah ke tempat kos di Kebon Bibit ini. Alhamdulillah, suasananya nyaman, seperti yang saya harapkan. Saya pun bertahan ditempat ini hingga menyelesaikan program master saya.

Kembali ke Solo, saya pun booked tempat kos yang lama. Sekali lagi karena saya sudah merasa nyaman ditempat ini. Sampai akhirnya, alhamdulillah, saya memiliki rumah di Solo. Rumah sudah jadi, tapi untuk pindahan dari tempat kos ke rumah......maleeeessssss banget. Saya membayangkan sangat tidak nyaman jika harus tinggal sendirian dirumah, tentu akan lebih nyaman tinggal di tempat kos yang banyak temannya untuk ngobrol. Rumah saya akhirnya hanya jadi penginapan sementara, jika ortu atau ada saudara saya datang, maka saya pun tinggal di rumah itu. Begitu mereka pulang, saya pun kembali ke tempat kos di Mendungan.

Sampai akhirnya, saya harus berangkat melanjutkan sekolah ke Nottingham, barulah saya total pindahan ke rumah tersebut. Ya, karena kontrak di tempat kos itu sudah habis dan saya harus membereskan barang-barang saya yang tidak mungkin ditinggal di Kos Mendungan. Itupun disertai dengan tindakan menginap di kos mendungan tiap malam, hingga akhirnya saya berangkat ke Nottingham.

Di Nottingham, saya tinggal dengan keluarga teman. Kebetulan mereka punya kamar kosong yang bisa di share. Sampai akhirnya, di akhir tahun kedua saya di Nottingham, saya harus pindah lagi. Teman saya dan keluarganya harus pulang kembali ke Indonesia. Saya harus pindah atau moving lagi tentunya......................dan saya benci ini. Padahal saya sudah nyaman sekali tinggal ditempat yang lama itu. Saya sudah merasa akrab dengan jalan-jalan di daerah itu, dengan sopir bis yang melintas di daerah itu, dan terpenting sudah akrab dengan sesama penumpang di bus stop daerah itu. Salah satunya ya Simbah itu.

Saya pun dapat tempat baru nyaman, share dengan keluarga dari Indonesia juga. Saat menjelang pindahan adalah saat yang paling tidak saya sukai. Harus packing barang-barang, angkut-angkut dan menata di tempat yang baru. Belum lagi saat itu adalah awal Juni, bulan yang paling gawat bagi saya. Di bulan Juni ini saya harus menyiapkan 2 talk presentasi di grup, 1 presentasi poster, dan 2nd year report!!! Rasanya kalo bisa memilih, saya memilih untuk tidak pindah sampai semua report saya selesai. Barang-barang saya pun ternyata sudah mengembang 4 kali lipat dari semenjak saya tiba di Nottingham. Ini juga yang membuat saya bertekad untuk tidak belanja membeli barang-barang sampai saya lulus nanti. Sepertinya saya bisa menjalani ini. Tiga minggu di tempat baru ini, saya hanya belanja barang consumable dan belum belanja barang-barang yang tidak perlu. Lets see, berapa bulan saya bertahan dengan tekad ini.

Ditempat yang baru ini, bus stop nya tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya perlu waktu semenit untuk jalan dari tempat tinggal baru ini ke bus stop. Pilihan bus nya pun lebih banyak, karena tempat tinggal saya yang baru ini terletak di jalan raya. Disini sekarang saya menunggu bus:




View Larger Map

Teman sesama penunggu bus di bus stop ini juga berganti. Cuma saya belum mendapatkan teman ngobrol selama menunggu bus di tempat ini. Eh, tapi ada sesama student Uni Nottingham juga yang sering bareng dengan saya berangkat dari bus stop ini. Hingga saat ini, hanya sapaan "morning" yang saya dapatkan. Mungkin nanti bisa meningkat jadi teman ngobrol seperti Simbah itu.



-Saturday afternoon at Queens Road-

Monday, March 14, 2011

Namaku Margaret

Judul Buku : Are You There, God? It's Me, Margaret
Penulis : Judy Blume
Jumlah halaman: 152 halaman
Penerbit : Macmillan Children's Books


Novel versi Bahasa Indonesianya pertama kali saya baca sekitar awal tahun 90-an, saat saya masih SMP. Cerita ini dimuat sebagai cerita bersambung di majalah Gadis, majalah remaja yang sangat terkenal saat itu. Menurut saya, ceritanya sangat berkesan sekali, mungkin juga dikarenakan saat itu saya juga baru memasuki masa remaja, sehingga merasa apa yang dialami Margaret ini juga terjadi pada saya.

Setelah mencari-cari, akhirnya saya menemukan buku versi aslinya (berbahasa Inggris) di Amazon. Cukup murah, hanya 2.5 pounds termasuk ongkos kirim. Ternyata ini novel karangan Judy Blume, penulis Amerika yang terkenal dengan novel-novel khusus remaja. Novel dengan judul "Are You There, God? It's Me, Margaret" ini ternyata sudah diterbitkan sejak tahun 70an. Ini berarti saat saya membaca versi majalah Gadis, novel ini sudah berusia 20 tahun, dan saat saya membaca versi Bahasa Inggrisnya, novel ini sudah berusia 40 tahun. Wowww.......

Novel berlatar cerita di daerah New Jersey ini bercerita tentang bagaimana seorang remaja sedang berkembang secara psikologis dan kebimbangannya tentang agama apa yang harus dia anut. Margaret duduk di 6th grade, dan tidak memiliki agama. Ayah Margaret adalah seorang Jewish dan Ibunya seorang Christian. Mereka tidak memaksakan Margaret untuk menganut agama tertentu sampai nanti Margaret dewasa dan menentukan sendiri keinginannya. Tapi, justru hal inilah yang membuat Margaret bingung, karena dia merasa berbeda dengan teman-temannya yang lain, tidak ke kuil Jewish atau ke Sekolah minggu untuk beribadah. Hal ini juga yang membuat Margaret membenci hari-hari libur keagamaan, karena dia merasa tidak ada sesuatu yang spesial di hari libur keagamaan.

Meskipun belum memiliki agama, Margaret percaya akan adanya Tuhan. Ini yang membuat Margaret selalu berdialog dengan Tuhan untuk segala hal yang ada dipikirannya atau yang dia inginkan. Termasuk saat ingin memiliki tubuh yang tinggi seperti Laura Danker, gadis paling cantik di kelasnya. Juga saat dia naksir dengan Moose, pemotong rumput di halaman rumahnya.

Seperti layaknya ABG, Margaret juga memiliki geng beranggotakan 4 orang yaitu dia, Nancy, Janie dan Gretchen. Geng ini juga yang membantu Margaret mengerti bagaimana tumbuh menjadi seorang remaja, karena disini mereka bertukar cerita tentang segala hal, mulai dari membeli bra, membeli pembalut, hingga dalam hal membuat daftar orang yang mereka taksir.
Karakter anggota geng ini juga berbeda-beda. Nancy digambarkan sebagai seorang yang senang memimpin, tahu segala hal dibandingkan teman-temannya, tetapi dia terkadang berbohong supaya terlihat hebat dihadapan teman-temannya. Oleh karena itu, Nancy dianggap sebagai pemimpin di geng mereka, PTS, Pre Teen Sensation.

Di Novel ini juga digambarkan bagaimana Margaret dan teman-temannya mulai tertarik pada pria disekitarnya. Mereka sepakat membuat list pria yang menarik, menurut mereka, yang harus di update setiap minggu dan dilaporkan dalam pertemuan mingguan PTS. Margaret menemukan bahwa Phillip Leroy selalu berada di urutan pertama pada daftar pria yang disukai-minggu ini, pada daftar yang dibuat oleh Nancy, Janie dan Gretchen. Margaret juga menulis nama Philip pada daftarnya. Bedanya, Margaret menulis ini karena dia tidak ingin jujur bahwa dia sebenarnya naksir Moose, anak laki-laki yang membantu memotong rumput di rumahnya, yang dianggap anak nakal oleh teman-temannya. Oleh karena itu, Margaret jadi berpikir jangan-jangan Nancy, Gretchen, dan Janie pun sebenarnya tidak naksir Phillip, tapi hanya ingin dianggap keren, karena Phillip memang pantas untuk ditaksir.

Dalam novel ini, banyak hal-hal yang bisa membuat saya tertawa geli. Judy Blume benar-benar bisa menggambarkan sosok Margaret sebagai remaja yang sedang tumbuh, yang terkadang pikirannya berbeda dari pikiran orang dewasa. Sewaktu diminta mengisi formulir perkenalan dengan guru barunya di kelas, Mr. Bennedict, Margaret menulis sesuatu diluar dugaan. Saat diminta mengisi " I think a male teacher.....", Margaret seharusnya menulis kesannya tentang guru laki-laki. Tetapi Margaret mengisi dengan jawaban yang simpel "I think a male teacher is opposite a female teacher". Benar juga sih.......

Juga digambarkan bagaimana malunya Margaret dan Janie saat pertama mencoba membeli pembalut wanita di toko, dan kasirnya adalah seorang pria. Judy Blume menggambarkan dengan detail bagaimana paniknya mereka, sehingga akhirnya Janie membatalkan niatnya membeli pembalut wanita. Padahal bagi seorang kasir pria, setiap harinya dia menghadapi ratusan pelanggan yang membeli pembalut wanita. Dengan pembalut wanita yang dibelinya ini Margaret belajar bagaimana cara memakainya, meskipun dia belum mengalami menstruasi. Dari hasilgoogling, memang pembalut wanita yang dipasarkan sekitar tahun 70an itu berbeda dengan pembalut wanita saat ini. Pembalut wanita versi lama menggunakan semacam belt/ikat pinggang, untuk menjaga pembalut tetap pada posisinya saat digunakan. Saat itu mungkin belum ada pembalut wanita yang berperekat seperti saat ini, yang lebih mudah untuk digunakan dan simpel.















Sanitary Belt, yang digunakan bersama pembalut wanita. Versi ini yang ada sekitar tahun1970an, saat Judy Blume menulis novel "Are you there, God? It's me Margaret"


Margaret sebenarnya merupakan sosok yang religius, hanya dia belum bisa menentukan pilihan yang terbaik baginya. Digambarkan dalam novel ini bahwa Margaret setiap hari berdialog dengan Tuhan, tentang segala keinginannya. Margaret juga yakin, bahwa jika dia meminta pada Tuhan, pasti akan dikabulkan. Saat ayahnya terluka akibat mesin pemotong rumput, Margaret berdoa agar keadaan ayahnya tidak bertambah memburuk. Termasuk saat dia meminta agar segera mendapatkan menstruasi, supaya tidak kalah dengan teman-teman satu geng-nya. Margaret semakin yakin bahwa Tuhan selalu mengabulkan permintaannya, setelah pada akhirnya dia mendapatkan menstruasi pertamanya setelah ulang tahunnya yang keduabelas. Margaret merasa senang karena dia tidak tertinggal dibandingkan Gretchen dan Nancy, yang sudah lebih dulu mendapatkan menstruasi pertamanya.

Novel ini memang sangat menghibur dan bagus juga dibaca oleh para remaja dan dewasa. Sampai saat ini, saya sangat terkesan sekali dengan cerita Margaret ini. Menurut saya, novel ini sangat menggambarkan bagaimana perasaan dan perkembangan seorang anak remaja, baik dari segi psikis dan psikologis. Selain itu, novel ini juga menggambarkan bagaimana kebimbangan seorang anak remaja yang tidak memiliki pegangan agama tertentu. Masukan yang bagus untuk para orangtua, supaya mendidik anak-anaknya dengan pondasi agama yang kuat sehingga anak-anak tidak menjadi bimbang dan ragu terhadap keberadaan Sang Pencipta.

*There a lots of things about growing up that are hard to be honest about, even with your best friends*

Wednesday, March 09, 2011

Homesick

Hari minggu kemarin, tombol switch on- switch off terminal kabel milik saya tiba-tiba tidak bisa menyala dan tidak bisa bekerja. Wah, jadi agak repot memang karena terminal kabel itu menghubungkan socket/ plug atau colokan 2 ke 2. Sengaja memang saya membawa terminal socket/colokan 2 ke 2 untuk peralatan listrik mengingat peralatan elektronik yang saya bawa dari Indonesia seperti komputer, charger kamera dan HP masih menggunakan plug/colokan dengan 2 lubang, sedangkan di UK socketnya adalah 3 lubang. Sebenarnya begitu sampai UK, saya juga sudah membeli socket yang merubah 2 plug menjadi 3 plug, tapi hanya terbatas untuk 1 item barang elektronik. Sehingga saya menyambugnya lagi dengan socket 2 ke 2 yang saya bawa dari Indonesia, sehingga saya bisa menyalakan komputer, mengisi baterai HP dan kamera sekaligus.

Hubungannya dengan Homesick? Hmmm, gara-gara memperbaiki socket itu, tiba-tiba saya jadi ingat rumah alias Homesick.



Homesick atau perasaan kangen atau rindu, menurut Cambridge advanced learner's dictionary adalah suatu keadaan dimana kita merasa tidak nyaman karena berada jauh dari rumah dalam jangka waktu yang lama. Definisi lainnya adalah perasaan tidak nyaman atau lemah yang disebabkan oleh terpisahnya seseorang dari sesuatu object, dalam hal ini rumah, baik yang disengaja ataupun tidak disengaja. Gara-gara homesick, mendorong saya untuk bertanya kepada mbah Google, apa sebenarnya homesick itu dan apa saja yang membuat sesorang merasa homesick.

Ternyata banyak faktor yang mempengaruhi apakah seseorang itu akan mudah terjangkiti homesickness atau tidak. Faktor-faktor tersebut antara lain usia, jenis kelamin (gender), budaya, dan ketegaran atau rigidity seseorang.

1. Faktor Usia
Katanya, anak-anak akan lebih mudah terjangkiti penyakit homesick dibandingkan orang dewasa. Sepertinya ini ada benarnya, karena anak-anak biasanya lebih besar ketergantungannya terhadap suatu object, dalam hal ini rumah atau orang tua (ayah dan ibu) sehingga akan lebih mudah terjangkiti homesickness.

Jadi ingat kejadian beberapa tahun yang lalu, saat serombongan mahasiswa saya datang menghadap, meminta saya agar membatalkan kuliah sore hari, yang dimulai pukul 4 sore. Biasanya, kelas yang dimulai pukul 4 sore ini akan berakhir sekitar pukul 6 sore. Mereka meminta supaya saya mengganti kuliah ini dilain hari. Ketika saya tanya alasannya, ternyata mereka tidak ingin pulang terlalu sore karena ingin mudik ke kampung halamannya sore ini, karena besok adalah 1 Ramadhan, hari pertama puasa. Mereka ingin membuka puasa pertama di kampung halamannya. Mahasiswa saya kebanyakan berasal dari wilayah Solo dan sekitarnya sehingga untuk mudik diperlukan waktu tidak lebih dari 5 jam. Wah, kalo untuk mengganti jam kuliah dilain hari, terus terang saya agak keberatan, karena jadwal saya kedepannya juga sudah penuh. Mungkin jika di cancel, maka saya akan lebih senang. Tapi tentu mahasiswa, dekan dan universitas tempat saya mengajar menjadi tidak senang. Oleh karena itu, saya berkata kepada para mahasiswa, bahwa saya berjanji akan mengakhiri kuliah jam 5.30. "Terimakasih, Bu", ucap mereka lega. "Selamat mudik ya, saya saja malah nggak mudik nih", saya berkata kepada mereka. "Ah, Ibu 'kan nggak perlu mudik. Ibu 'kan sudah besar," ucap salah seorang mahasiswa saya. Ha..ha..ha....saya jadi terpingkal-pingkal mendengar jawaban salah seorang mahasiswa tadi. Mungkin maksudnya, saya tidak perlu mudik karena saya sudah cukup dewasa atau tua, bukan seperti mereka yang umurnya jauh dibawah saya. Jadi, memang terbukti 'kan jika bertambahnya usia mengurangi perasaan homesick ini. Meskipun sebenarnya saya juga pengin pulang, pengin sahur dengan menu "lombok kethok" masakan Ibu saya he..he...

2. Faktor Gender
Dari sebuah penelitian tentang homesick yang saya baca, untuk wilayah UK, wanita merasa lebih mudah merasa homesick dibandingkan pria. Penelitian ini membandingkan homesickness dari segi gender di UK dan di Netherlands dikalangan para pelajar. Di Netherlands, tidak ada pengaruh perbedaan gender ini terhadap perasaan homesickness. Konon katanya, dari jurnal yang saya baca ini, di Netherlands jarak antar kota relatif dekat, dan tersedia fasilitas transport gratis untuk pelajar, sehingga mereka biasanya akan pulang ke rumah tiap weekend (http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1348/000712602162508/pdf).

Menurut saya, mungkin juga karena wanita lebih bisa mengungkapkan emosinya dibandingkan pria, sehingga jika merasa homesick, akan terlihat sekali. Seperti yang saya alami saat saya menghadapi socket yang rusak tadi. Sambil membongkar dan memperbaiki socket tersebut, saya jadi ingat Bapak saya. Coba jika ada beliau saat ini, saya tidak perlu memutar obeng dan membongkar socket itu sendiri. Bapak saya memang punya hobi mengutak-atik dan memperbaiki segalanya, mulai dari alat listrik sampai mainan milik keponakan saya dan pasti juga beliau dengan senang hati memperbaiki tombol socket yang rusak ini. Gara-gara ingat Bapak, saya jadi ingat Ibu, kangen dengan nasihat-nasihatnya yang relijius, yang membuat saya selalu ingat bahwa manusia itu tidak ada artinya dibandingkan Sang Pencipta. Kangen dengan Bapak-Ibu, membuat saya juga kangen dengan keponakan, si Tolo-Tolo, yang tidak pernah bisa diam, dan tiap kali saya menelepon ke Indonesia, dia selalu minta robot bertopeng dan bersayap. Dan saya sampai saat ini belum menemukan gambaran bagaimana bentuknya robot bertopeng dan bersayap itu. Gara-gara itu semua, saya jadi kangen rumah.......Hanya gara-gara memperbaiki tombol switch on-off pada terminal socket....hwa.......

3. Faktor Budaya
Faktor budaya ternyata juga mempengaruhi perasaan homesickness ini. Seorang pelajar Indonesia yang baru pertama kali sekolah di Inggris, tentu akan merasa lebih homesickness dibandingkan dengan pelajar Indonesia yang sudah lama sekolah di Inggris. Perasaan ini juga dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain kesulitan dalam menghadapi hal baru, merasa tidak nyaman dengan lingkungan yang baru dan belum bisa memanfaatkan situasi yang dihadapinya saat ini.

Perbedaan budaya memang sering membuat perasaan homesick muncul. Jadi ingat sewaktu baru pindah ke UK, saya sering membayangkan pulang kuliah terus mampir membeli bakso atau gorengan dipinggir jalan. Jalan-jalan bersama sepulang kuliah dan banyak hal lain. Di UK, hari kerja adalah digunakan untuk kerja, sehingga pertokoan pun tutup tidak lebih dari jam 5.30 dihari kerja, kecuali supermarket besar. Kongkow-kongkow hanya dilakukan saat weekend, Jum'at malam dan Sabtu. Alhasil, tidak ada acara kongkow dan mampir beli bakso atau gorengan dihari kerja. Hari kerja, setelah jam 5 sore, acaranya adalah pulang ke rumah, tanpa ada acara kongkow. Ini juga yang membuat saya kangen Indonesia.............

Perasaan kehilangan terhadap teman, ingin mencari teman baru ditempat yang baru, merindukan tipe teman lama di tempat yang baru, serta merasa kehilangan teman curhat dan bisa dipercaya juga semakin memperparah keadaan homesickness ini, terutama dikalangan pelajar. Selain itu, kadang ada perasaan bahwa situasi sebelumnya lebih baik dari sekarang dan juga ada perasaan menyesal karena meninggalkan situasi yang lama, dimana kita sudah merasa nyaman. Ini juga memicu perasaan homesickness. Memang, zona nyaman itu terkadang terlalu nyaman untuk ditinggalkan.

4. Faktor Rigidity atau Ketegaran
Seberapa kuat ikatan seseorang terhadap suatu object, maka akan mempengaruhi tingkat homesickness-nya. Seseorang yang tidak pernah hidup terpisah dari orangtuanya, mungkin akan merasakan homesickness yang lebih parah dibandingkan dengan seseorang yang sudah terbiasa hidup terpisah dari orangtuanya.

Saya sendiri sebenarnya sudah terbiasa tinggal terpisah dari orangtua sejak SMA. Orangtua saya adalah PNS yang sering dipindahtugaskan kebeberapa daerah. Khawatir dengan pendidikan anaknya yang sudah menginjak SMA, yang kemungkinan akan kacau jika mengikuti ortu yang pindah tugas, orangtua saya memutuskan untuk memusatkan pendidikan anak-anaknya di Jogja. Kebetulan di Jogja juga banyak saudara yang bisa membantu mengawasi. Alhasil, saya dan kakak sudah belajar untuk hidup mandiri sejak SMA. Dengan track-record tinggal terpisah dari orangtua yang sudah cukup lama, tapi kenapa saya masih sering kena homesick juga? Tidak terbayangkan bagaimana dengan seseorang yang tidak pernah tinggal terpisah dari orangtuanya.

Tingkat ketegaran atau rigidity ini juga mempengaruhi kecepatan munculnya perasaan homesick. Bagi saya, biasanya saya akan mulai merasa homesick jika lebih dari 3 bulan tidak bertemu orangtua dan tidak mengunjungi rumah. Selain itu, jika sedang dibawah tekanan, misal harus menyusun report atau bertemu pekerjaan yang bertumpuk, tiba-tiba saya merasa ingin pulang ke rumah. Tapi kalo yang terakhir ini, sebenarnya homesick atau lari dari tanggung jawab ya???

Bagaimana denganmu? Apa yang kamu pikirkan tentang homesick?
Anyway, saya akhirnya bisa memperbaiki terminal socket yang saya bawa dari Indonesia, dengan perasaan homesickness.


*I am homesick for everything that I am willing to remember*


Bibliography:

Sunday, February 06, 2011

Antara Zona Nyaman dan Tidak Nyaman

Weekend kali ini tidak ada agenda jalan-jalan. Cuaca yang buruk alias angin kencang membuat saya membatalkan niat untuk berkunjung ke River Trent sekaligus mengintip kandang Nottingham Forest di daerah West Bridgford. Tidak terlalu jauh memang dari City Center, hanya angin kencang hari ini, dan juga yang saya rasakan saat pulang kampus Jum'at sore kemarin, serasa meniup kuat badan dan membawa saya terbang. Padahal badan saya termasuk kategori ukuran besar, coba bayangkan kalo saya berbobot dibawah 45 kilogram, mungkin saya sudah diterbangkan hingga Derby, district di sebelah Nottinghamshire.

Karena mati gaya dirumah, tidak tahu lagi apa yang harus dikerjakan, jadi yang saya kerjakan Sabtu ini adalah merenung. Merenung dan menulis tentunya, supaya ada bukti sudah melakukan perenungan. Bukankah harus ada bukti supaya tidak disangka hoax?

Saya merasa minggu ini adalah minggu yang berat. Ya, saya merasa capek dan lelah untuk minggu ini. Rasa capek itu semakin bertambah setelah membayangkan apa yang harus saya kerjakan minggu depan. Tugas dari supervisor saya untuk menjadi supervisor untuk 2 orang undergraduate project students membuat saya "juggling" dari satu lab ke lab lainnya. Ditahun kedua program PhD saya ini, saya harus menyelesaikan pekerjaan cell culture di Tissue Engineering lab, sedangkan project students yang harus saya bimbing, bekerja di Drug Delivery lab. Minggu ini dimulai dari menyiapkan dan belanja chemical, menyusun timeline dan rencana project, meng-arrange protokol apa yang harus mereka siapkan, serta berpacu dengan target kerja saya sendiri membuat tenaga dan pikiran saya terkuras. Belum lagi minggu depan saya harus mentraining mereka menggunakan instrument di laboratorium, mendemonstrasikan teknik kerja yang harus mereka kerjakan dan mengerjakan pekerjaan saya sendiri.

Perenungan ini adalah perenungan tentang pikiran "aneh"yang muncul lagi Kamis malam lalu. Pikiran yang sama waktu saya sedang berjuang untuk menyelesaikan tesis Master saya, sementara saya juga masih harus ujian matakuliah teori. Apa sih yang saya cari dengan sekolah? Buat apa sekolah lagi, toh tanpa sekolah saya juga bisa jadi dosen dan mengajar mahasiswa. Pun pikiran itu muncul lagi 2 malam yang lalu. Toh dengan gelar Master, saya sudah bisa dan berhak mengajar mahasiswa undergraduate (S1) di Indonesia.

Istighfar, itu yang saya lakukan saat pikiran itu muncul. Dan saya tiba-tiba ingat dengan kata-kata yang sering saya ucapkan pada teman-teman di kampus dulu, "Ayo, mundurlah satu langkah ke belakang untuk maju beribu langkah ke depan". Kata-kata itu yang selalu saya ucapkan ke teman-teman kolega saya di kampus untuk memotivasi mereka untuk tetap semangat melanjutkan sekolah. Ternyata susah juga ya menepati kata-kata sendiri.

Bagi dosen seperti saya, memang banyak sekali yang harus dikorbankan pada saat memutuskan untuk sekolah lagi. Meninggalkan kampus tempat kerja, meninggalkan mengajar dan melepas jabatan struktural, yang semuanya itu tentu terkait dengan konsekuensi finansial. Institusi pendidikan tempat saya bekerja memang termasuk yang baik dalam memperlakukan dosen yang sedang studi lanjut. Kami tetap menerima gaji pokok, sedangkan honor mengajar tidak. Kebijakan yang menurut saya memang adil. Memang selama studi lanjut, kami tidak diberi beban mengajar sehingga tidak menerima honor mengajar. Tapi, jumlah gaji pokok yang saya terima itu besarnya (atau kecilnya?) hanya sepertiga dari honor yang saya terima jika saya aktif mengajar dikampus alias sangat kecil. Pengorbanan lainnya adalah harus melepas proyek-proyek penelitian bernilai tinggi dalam skala rupiah, yang seharusnya bisa dikerjakan saat tidak studi lanjut. Bagi saya tidak mungkin mengurus proyek di Indonesia sedangkan saya sendiri sedang berada di UK.

Dari segi non finansial, banyak sekali yang harus ditinggalkan saat memutuskan untuk sekolah lagi. Seusia saya, saat ini, sebenarnya saya sudah cukup nyaman dengan apa yang ada disekeliling saya. Gelar master sudah ditangan, jabatan fungsional juga sudah lumayan untuk mengajar mahasiswa S1, proyek-proyek penelitian pun mulai berdatangan dari hasil menjalin lobi sana sini. Mengajar, mengawasi praktikum, sesekali siaran program kesehatan di radio, pulang, belanja, sesekali ke gym dan berenang, santai dirumah, sepertinya menjadi rutinitas yang terpola dengan rapi. Perawatan ke salon, pijat dan spa, kongkow dengan teman-teman, mencoba tempat makan baru, shopping, sesekali travelling ke negara tetangga, menjadi bagian kenyamanan yang kadang terasa berat untuk ditinggalkan.

Lalu apa yang saya cari dengan sekolah lagi? Well, saya sendiri sering tidak konsisten untuk menjawabnya. Saat saya sedang sadar dan menjadi pribadi yang baik, saya akan menjawab bahwa tujuan saya sekolah adalah untuk meningkatkan pengetahuan, menjawab rasa ingin tahu, menambah pengalaman, berjuang untuk ummat dijalan pendidikan dan sejuta alasan ideal lainnya. Saat sedang bosan dan capek dengan sekolah, saya tidak bisa menjawab pertanyaan ini, dan kembali berpikir," Iya ya, ngapain capek-capek sekolah lagi?"

Saya yakin seyakin-yakinnya, pada waktu saya apply beasiswa untuk program PhD saat ini, saya sedang menjadi pribadi yang baik. Maka dari itu saya akhirnya memutuskan mendaftar program beasiswa. Tapi tidak pada saat saya dinyatakan diterima dan berhak atas beasiswa ini. Senang, tapi sedikit sekali rasa itu. Saat dinyatakan diterima beasiswa ini, saya justru menangis. Menangis dibalik senyuman, karena saya tidak mungkin menangis di depan orang-orang yang memberikan ucapan selamat pada saya. Sewaktu dinyatakan diterima beasiswa, yang saya rasakan adalah beban yang sangat berat. Beban untuk bersiap meninggalkan zona nyaman yang saya miliki menuju zona tidak nyaman.

Saya pernah merasakan bagaimana tidak enaknya berpindah dari zona nyaman ke zona tidak nyaman ketika saya memutuskan kuliah lagi untuk mengambil program master. Beban kuliah yang sangat tinggi, berada di lingkungan baru, dosen yang gaya mengajarnya berbeda dengan dosen-dosen saya waktu S1, menjadi beban berat bagi saya. Alhamdulillah, Allah selalu sayang dengan hambanya. Dibulan ketiga sejak saya menginjak zona tidak nyaman saat mengambil program S2, saya mulai merasa nyaman dengan teman-teman yang sangat baik, sehingga zona tidak nyaman itu berubah menjadi zona nyaman hingga saya menyelesaikan program master saya.

Menerima beasiswa untuk program PhD ini membuat saya kembali harus bersiap untuk mengeluarkan langkah saya dari zona nyaman. Saya ingat dengan kata-kata teman baik saya, bahwa semakin dewasa usia seseorang, semakin sulit rasanya untuk melangkahkan kaki keluar dari zona nyaman. Hal itu juga saya rasakan. Alhasil 6 bulan sejak dinyatakan diterima beasiswa, saya tidak melakukan progress apapun. Padahal beasiswa saya akan expired dalam tempo 1 tahun jika dalam 1 tahun saya tidak mengambil jatah beasiswa itu.

Dan sekali lagi, Allah memang maha pembolak-balik hati. Dialog kecil dengan diri sendiri akhirnya meyakinkan saya untuk menempuh segala usaha agar jatah beasiswa itu tidak hilang karena expired. Betapa ratusan kandidat dari berbagai negara berusaha mendapatkan beasiswa itu, sedangkan saya yang sudah mendapatkannya, malah berkeinginan untuk melepaskannya. Akhir 2008, saya memantapkan hati menerima beasiswa ini. Segala usaha juga saya lakukan untuk berburu universitas yang sesuai dengan bidang minat saya. Saya juga mengajukan pengunduran diri dari jabatan struktural untuk lebih berkonsentrasi mencari sekolah. Bulan Juni 2009, segala sesuatunya telah siap, dan tinggal mempersiapkan keberangkatan. Akhir September 2009 akhirnya saya menginjakkan kaki di UK, dan juga melangkahkan kaki keluar dari zona nyaman.

Dari kenyataan yang saya alami, saya berpendapat bahwa sebenarnya zona tidak nyaman itu tidak pernah ada. Kenyamanan dan ketidak-nyamanan semua itu ada dibawah kendali diri kita sendiri. Tentu saya juga merasa tidak nyaman ketika menginjakkan kaki di UK. Bahasa yang berbeda, budaya yang berbeda, makanan yang berbeda, membuat segalanya jadi tidak nyaman. Tapi setidaknya saat ini saya sudah merasakan bahwa zona itu sedikit demi sedikit sudah berubah menjadi nyaman bagi saya. Teman-teman yang baik dan siap menolong disekeliling saya, jalan-jalan ke tempat-tempat terkenal di UK, bertemu dengan orang-orang baru dengan berbagai karakter, bertemu dengan teman-teman dari berbagai negara, membuat saya merasa mulai nyaman dengan semua ini. Dan ini berarti bahwa saya sudah mulai memperluas zona nyaman saya dan menyulap zona tidak nyaman menjadi zona nyaman...yayy......

To summarize, untuk memperluas zona nyaman, tentunya kita harus berani bergerak keluar dari zona nyaman itu sendiri dan merubah zona tidak nyaman menjadi zona nyaman. Bukankah jika zona nyaman yang kita miliki semakin luas, maka kita akan semakin leluasa untuk bergerak? Dan jangan lupa untuk selalu menempatkan ikhlas, yaitu melakukan segala sesuatunya hanya karena Allah, dan sabar dihati kita.




Nottingham, 5 February 2011
Renungan Sabtu malam






Monday, January 10, 2011

Jebakan Wasabi

Sudah pernah mencicipi kacang wasabi? Snack seperti kacang telur dengan lapisan penyalut yang berwarna hijau, dan rasa yang "spesifik". Wasabi adalah nama bumbu berwarna kehijauan yang menyalut kacang telur itu. Kacang ini begitu menarik bagi saya, karena pengalaman baru yang saya dapat dengan snack ini. Batuk dan pilek yang saya rasakan sejak libur Christmas lalu, jadi hilang akibat efek dari mengkonsumsi kacang ini. Tertarik.....? Bisa dicoba.........

Snack sejenis kacang telur ini saya temukan di supermarket dekat rumah. Saat itu, sebenarnya saya ingin membeli pistachio, snack kacang-kacangan kegemaran saya. Sayangnya stock pistachio sedang kosong. Pilih punya piilih, saya tertarik dengan "wasabi peanut", dengan gambar kemasan seperti kacang telur berwarna kehijauan. Membayangkan kacang shanghai, snack favorit saya di Indonesia, akhirnya saya memutuskan membeli kacang wasabi itu, sebagai ganti pistachio. Lagipula pada kemasannya mencantumkan kata "crispy and hot". Woww....pasti gurih dan enak, karena ada sedikit rasa pedasnya. Sudah beberapa kali saya membeli kacang pedas di Inggris raya ini, tapi belum ada yang pedasnya pas, dan rasa kacangnya kadang malah seperti rasa kacang melempem. Semoga kacang yang ini enak dan cocok di lidah.

Sampai dirumah, sambil santai browsing internet dan minum teh hijau hangat, saya buka kacang washabi itu. Pertama menempel di lidah, kekagetan tampaknya terjadi pada lidah saya. Ya......kaget yang luar biasa......Mungkin kalo lidah ini bisa berteriak, maka lidah saya akan berteriak. Sayang, lidah memang tidak bertulang, oleh karena itu tidak bisa berteriak (*memang tidak ada hubungan antara tulang dan produksi suara*).

Rasa yang benar-benar aneh untuk diterjemahkan dalam tulisan, telah dirasakan oleh indera pengecap saya. Antara pahit, getir, pedas, dan...mmmm.....rasa yang aneh, saya sulit sekali menerjemahkan rasa itu dalam kata-kata. Lambat saya mulai mengunyah kacang telur itu. Lapisan kulitnya akhirnya hancur diantara gigi-gigi dan memunculkan rasa kacang yang selama ini sudah akrab dengan saya. Eh...benar ternyata tulisan pada kemasan itu, memang rasanya "crispy and hot". Lapisan penyalut kacang tersebut, gurih juga ternyata. Kacang di dalamnya juga enak, sama dengan kacang atom garuda atau dua kelinci, merek yang sering saya beli waktu di Indonesia. Enak juga ternyata, jadi kacang wasabi pun terus berlanjut masuk dalam mulut saya. Tapi sepertinya lidah saya trauma untuk merasakan wasabi, sehingga saat masuk mulut, gigi geligi saya langsung melumat kacang wasabi itu, sehingga yang tersisa dilidah adalah rasa gurih tepung lapisan penyalut dan kacang, bukan bumbu hijau di lapisan penyalut yang rasanya "aneh" itu.

Supaya tidak penasaran dengan kacang wasabi, ini gambar kacang wasabi, seperti yang saya beli:



Bentuknya seperti kacang atom biasa, hanya lapisan penyalutnya yang berwarna hijau, dengan bumbu yang tersebar pada lapisan penyalut.

Untungnya, saya merasakan efek lain dari mengkonsumsi kacang ini. Rongga hidung yang mampet akibat pilek, tiba-tiba terasa longgar dan mudah untuk bernafas. Batuk berdahak saya juga berkurang akibat makan kacang ini. Ajaib ya.....Jadi penasaran untuk lebih mencari tahu, apa sih yang terkandung pada kacang wasabi ini. Lets do goggling.......

Wasabi, adalah sejenis bumbu dari tanaman Wasabia japonica, yang sering digunakan di Jepang untuk memberi rasa pada makanan. Rasa yang dihasilkan adalah rasa pedas, tapi lebih kuat dari rasa yang dihasilkan dari cabe atau merica. Bagian yang digunakan untuk menghasilkan rasa ini adalah bagian daun dan akar dari tanaman Wasabia Japonica.




Tanaman Wasabi ini banyak tumbuh di daerah pegunungan di Jepang dan memang digunakan sebagai bumbu masak pada kebanyakan masakan Jepang. Rasa yang dihasilkan khas sekali dan warna hijau pada Wasabi juga berfungsi sebagai pewarna alami pada makanan.

Rasa yang khas yang dihasilkan oleh Wasabi dikarenakan adanya kandungan isothiocyanate pada tamanan ini yaitu 6-methylthiohexyl isothiocyanate, 7-methylthioheptyl isothiocyanate 8-methylthiooctyl isothiocyanate. Efek farmakologi dari senyawa isothiocyanate ini adalah sebagai anti inflamasi, anti mikroba, anti platelet dan anti cancer.

Efek anti mikroba dari kacang wasabi inilah yang mungkin berkhasiat menyembuhkan batuk dan pilek saya. Bukti-bukti ilmiah mengenai efek farmakologi tanaman ini, memang kebanyakan menunjukkan adanya efek anti mikroba, baik terhadap fungi dan bakteri. Bahkan, ada satu artikel juga yang menyebutkan bahwa wasabi juga bisa digunakan sebagai anti virus, khususnya virus swine influensa (H1N1). Penyakit flu yang cukup merepotkan pemerintah Inggris pada winter kali ini (http://www.nhs.uk/conditions/pandemic-flu/Pages/Introduction.aspx).

Kacang Wasabi, meskipun rasa yang kau hasilkan "aneh" eh "unik", tapi kau telah berjasa menyembuhkan batuk dan pilek. Dan terlebih lagi, kacang wasabi ini mendorong saya untuk sekali-sekali menulis yang 'agak" ilmiah pada blog yang "tidak mutu" ini.